MIA > Bahasa Indonesia > Karya Marxis > Trotsky
Sumber: Fascism: What It is and How to Fight It, Leon Trotsky, 1944
Diterjemahkan oleh Dewey Setiawan. Diedit oleh Ted Sprague (Oktober 2007)
Kaum liberal dan bahkan kebanyakan dari mereka yang menganggap dirinya Marxis bersalah atas penggunaan kata ‘fasis’ secara berlebihan seperti yang terjadi hari-hari ini. Mereka mengumbarnya sebagai label atau kutukan politis terhadap khususnya figur-figur sayap kanan yang mereka benci, atau terhadap kaum reaksioner secara umum.
Sejak Perang Dunia Kedua, label fasis telah dilekatkan pada figur-figur dan gerakan-gerakan seperti Gerald L. K. Smith, Senator Joseph McCarthy, Senator Eastland, Barry Goldwater, Minutemen, John Birch Society, Richard Nixon, Ronald Reagan, dan George Wallace.
Apakah mereka semuanya betul-betul fasis, atau beberapa saja? Jika hanya beberapa saja, lalu bagaimana orang bisa membedakannya?
Bebasnya penggunaan istilah fasis menunjukkan kekaburan makna dari istilah itu sendiri. Saat diminta untuk mendefinisikan fasisme, kaum liberal menjawab dengan istilah-istilah seperti kediktatoran, nerosis massa, anti-Semitisme, kekuatan propaganda jahat, efek hipnotik seorang orator jenius-sinting pada massa dan seterusnya. Impresionisme dan kebingungan kaum liberal bukanlah hal yang terlalu mengherankan. Berbeda dengan Marxisme yang mempunyai keunggulan untuk menganalisa dan membedakan fenomena sosial dan politik. Bahwasanya banyak dari mereka yang mengaku dirinya Marxis tak bisa mendefinisikan fasisme lebih baik dari kaum liberal bukanlah kesalahan mereka seluruhnya. Entah mereka sadar atau tidak, kebanyakan dari warisan tradisi intelektual mereka bersumber dari kubu sosial demokratik (sosialis reformis) dan gerakan-gerakan Stalinis, yang mendominasi kaum kiri di era 1930-an, yaitu pada saat fasisme meraih kemenangan demi kemenangan yang gemilang. Gerakan-gerakan ini tidak hanya mengizinkan Nazisme merebut kekuasaan di Jerman tanpa adanya satupun perlawanan yang berarti, namun juga gagal memahami sifat dan dinamika fasisme and cara untuk melawannya. Setelah kemenangan fasisme, mereka memiliki banyak hal yang harus disembunyikan dan maka dari itu mereka menarik diri dari usaha untuk membuat analisa Marxis yang, paling tidak, bisa mendidik generasi-generasi selanjutnya.
Akan tetapi, ada sebuah analisa Marxis tentang fasisme. Analisa ini dibuat oleh Leon Trotsky, bukan sesudah kehancuran Fasisme, namun dalam masa kejayaannya. Ini adalah salah satu sumbangsih Trotsky yang terbesar kepada Marxisme. Dia memulai pekerjaan ini sesudah kemenangan Mussolini di Italia pada tahun 1922 dan mempergencar usaha itu di tahun-tahun sebelum kemenangan Hitler di Jerman pada tahun 1933.
Dalam usahanya untuk membangkitkan Partai Komunis Jerman dan Komunis Internasional (Komintern) dari ancaman fatal dan menciptakan sebuah Front-persatuan melawan Nazisme, Trotsky membuat kritik komprehensif terhadap kebijakan-kebijakan kaum sosial demokrat dan partai-partai Stalinis. Karya ini merupakan peringatan atas posisi bunuh diri, tidak-efektif dan keliru yang dapat diambil oleh organisasi-organisasi buruh dalam menghadapi fasisme, karena posisi partai-partai di Jerman yang cuma berkisar dari oportunisme dan pengkhianatan dari pihak kanan (sosial demokratik) sampai kemandulan dan pengkhianatan ultra-kiri (Stalinis).
Gerakan Komunis masih dalam kondisi kemabukan ultra-kirinya (apa yang disebut sebagai Periode Ketiga) saat gerakan fasis mulai berkembang dengan pesat bak bola salju yang menggelinding. Bagi kaum Stalinis, setiap partai kapitalis secara otomotis adalah ‘fasis’. Yang lebih parah dari tindakan yang mendisorientasi kelas pekerja semacam ini adalah pernyataan terkenal dari Stalin bahwa fasisme dan sosial demokrasi adalah "kembar" dan bukan saling bertentangan. Atas dasar itu, kaum sosialis disebut sebagai ‘sosial fasis’ and dianggap sebagai musuh utama. Sebagai akibat dari langkah ini, pembentukan front persatuan dengan organisasi-organisasi sosial-fasis menjadi tidak dimungkinkan lagi, dan mereka yang menuntut front-front semacam itu, seperti halnya Trotsky, dituduh juga sebagai sosial fasis dan diperlakukan sebagaimana layaknya seorang sosial fasis.
Begitu jauhnya garis kaum Stalinis dari kenyataan bisa dilihat dari penerjemahan konsep ini dalam konteks Amerika. Pada pemilu tahun 1932, kaum Stalinis Amerika mengutuk Franklin Roosevelt sebagai kandidat fasis dan Norman Thomas sebagai kandidat sosial fasis. Apa yang konyol dalam konteks politik Amerika Serikat ini menjadi hal yang tragis dalam kasus Jerman dan Austria.
(Baru-baru ini [1969], istilah sosial fasisme mulai muncul lagi dalam artikel-artikel anggota gerakan kiri baru. Apakah mereka yang menggunakan istilah itu berfikir bahwa merekalah yang menciptakannya? Atau, jika mereka sadar akan sejarah, apakah mereka acuh tak acuh terhadap konotasi istilah tersebut?)
Setelah Nazi merebut kekuasaan, kaum Stalinis menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa garis politik mereka 100 persen benar, bahwa Hitler hanya dapat bertahan dalam beberapa bulan saja, dan bahwa Soviet Jerman akan bangkit sesudahnya. Batas waktu untuk keajaiban ini ternyata molor dari tiga, enam, sampai sembilan bulan, dan selanjutnya bualan-bualan itu menghilang dalam kebisuan. Tingkat kekalahan yang diderita kelas pekerja, yang merupakan sifat khusus dari fasisme, yang membedakannya dari rezim atau kediktatoran reaksioner lainnya, menjadi nyata untuk semua orang, dan ancaman terhadap Uni Soviet atau kehadiran imperialisme Jerman yang dipersenjatai kembali mulai menjadi nyata. Hal ini membawa perubahan dalam garis politik Moskow di tahun 1935 dan partai-partai Komunis di seluruh penjuru dunia berzigzag jauh ke kanan, bahkan ke posisi kanan kubu sosial demokrat. Ini adalah posisi mereka di hadapan bahaya fasis yang menyebar di Prancis dan Jerman.
Kehancuran militer fasisme Jerman dan Italia dalam Perang Dunia Kedua meyakinkan mayoritas orang bahwa fasisme telah dimusnahkan untuk selamanya dan didiskreditkan sampai titik di mana dia tak bisa menarik pengikut lagi. Peristiwa-peristiwa semenjak itu, khususnya kebangkitan kelompok dan tendensi fasis baru di hampir semua negara kapitalis, telah mementahkan harapan semacam itu. Ilusi bahwa Perang Dunia Kedua dilakukan untuk menjadikan dunia aman dari bahaya fasisme telah lenyap seperti ilusi sebelumnya bahwa Perang Dunia Pertama dilakukan untuk menjadikan dunia aman bagi demokrasi. Bibit fasisme merupakan karakter khusus di dalam kapitalisme; sebuah krisis dapat meningkatkannya ke level epidemik kecuali bila penanganan-penanganan yang drastis diterapkan atasnya.
Karena peringatan awal telah datang, kami menawarkan kompilasi baru ini — sebuah kumpulan kecil tulisan terpilih dari Trotsky mengenai fasisme – sebagai sebuah sumbangan bagi gudang senjata anti fasis.
Apakah fasisme itu? Istilah ini berasal dari Italia. Apakah semua bentuk kediktatoran kontra-revolusioner itu bisa disebut fasis? (Katakanlah sebelum kedatangan fasisme di Italia).
Kediktatoran Primo de Rivera di Spanyol, 1923-30, disebut sebagai kediktatoran kaum fasis oleh Komintern. Benarkah hal itu? Kami percaya bahwa pendapat itu salah.
Gerakan fasis di Italia adalah sebuah gerakan spontanitas massa yang masif, dengan para pemimpin baru yang berasal dari rakyat biasa. Gerakan fasis Italia berasal dari gerakan plebian (catatan: plebian berarti berasal dari rakyat biasa), disetir dan dibiayai oleh kekuatan borjuis besar. Fasisme berkembang dari kaum borjuis kecil, kaum lumpenproletar, bahkan pada tingkatan tertentu dari massa proletar; Mussolini, yang dulunya seorang sosialis, adalah seorang yang "tumbuh dan besar sendiri" dari gerakan ini.
Di lain pihak, Primo de Rivera adalah seorang aristokrat. Dia pernah menempati posisi birokrat dan militer tinggi dan pernah juga menjadi gubernur Catalonia. Dia meraih kesuksesannya dalam perebutan kekuasaan dengan bantuan negara dan militer. Kediktaturan Spanyol dan Italia adalah dua bentuk kediktaturan yang benar-benar berbeda. Adalah penting untuk membedakan keduanya. Mussolini mengalami kesulitan dalam merekonsiliasi institusi-institusi militer lama dengan milisi fasis. Masalah ini tidak dialami oleh Primo de Rivera.
Gerakan fasisme di Jerman secara umum lebih mirip dengan gerakan yang terjadi di Italia. Gerakan tersebut adalah gerakan massa, yang pemimpinnya banyak menggunakan demagogi sosialis secara luar biasa. Hal tersebut sangat dibutuhkan dalam pembentukan gerakan massa.
Basis asli (bagi fasisme) adalah borjuis kecil. Di Italia, mereka memiliki basis yang sangat luas - borjuis kecil perkotaan besar dan kecil, dan para petani. Di Jerman, serupa dengan di Italia, terdapat basis yang luas bagi fasisme...
Bisa dikatakan, dan ini benar di dalam beberapa hal, bahwa kelas menengah baru, fungsionaris negara, administrator swasta, dan sebagainya adalah basis dari fasisme di sana. Ini adalah pertanyaan baru yang harus dianalisa...
Dalam rangka memprediksi segala hal yang berhubungan dengan fasisme secara benar, adalah perlu untuk memiliki sebuah definisi tentang gerakan ini. Apakah fasisme itu? Apa saja yang menjadi dasar, bentuk, dan karakternya? Bagaimana dia akan berkembang? Semuanya perlu kita telaah dengan pendekatan Marxis dan ilmiah
Saat sumber daya ‘normal’ militer dan polisi dalam kediktatoran borjuis, bersama dengan tabir parlementer mereka, sudah tak mampu lagi mempertahankan stabilitas masyarakat — keniscayaan rezim fasis telah tiba. Melalui agen fasis, kapitalisme menggerakkan massa borjuis kecil yang irasional dan kelompok-kelompok lumpenproletariat yang rendah dan terdemoralisasi – seluruh manusia yang telah digiring ke dalam kesengsaraan dan kemarahan oleh kapitalisme.
Dari fasisme, kaum borjuis menuntut sebuah pekerjaan yang menyeluruh; setelah selesai menggunakan perang sipil, kaum borjuis menuntut kedamaian untuk periode bertahun-tahun. Dan agen fasis, dengan menggunakan borjuis kecil sebagai alat penghancur, dengan menabrak semua halangan yang ada di jalannya, melakukan tugasnya dengan baik. Setelah fasisme menang, kapital finansial segera dan langsung memusatkan di tangannya semua organ dan institusi kekuasaan, eksekutif administratif, dan pendidikan negara; seluruh aparatus negara bersama dengan tentara, pemerintahan daerah, universitas-universitas, sekolah-sekolah, pers, serikat buruh, dan koperasi. Saat sebuah negara berubah menjadi fasis, bukan berarti hanya bentuk-bentuk dan metode-metode pemerintahan yang berubah sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh Mussolini — perubahan dalam lingkup ini pada akhirnya hanya berperan sangat kecil. Tapi yang pertama dan utama adalah dibinasakannya organisasi buruh; kaum proletar dihancurkan sampai tak berbentuk sama sekali; dan sebuah sistem administrasi diciptakan untuk menpenetrasi massa secara mendalam dan berfungsi untuk mengganggu kristalisasi independen kaum proletariat. Hal-hal tersebut adalah inti dari fasisme...
Fasisme Italia adalah hasil yang segera muncul dari pengkhianatan kaum reformis di saat kebangkitan kaum proletar Italia. Pada waktu (Perang Dunia Pertama) berakhir, terdapat tren naik dalam gerakan revolusioner Italia, dan pada bulan September 1920 gerakan tersebut berhasil melaksanakan penyitaan pabrik-pabrik dan industri-industri oleh para pekerja. Kediktaturan proletariat merupakan sebuah kenyataan pada saat itu; yang kurang saat itu adalah untuk mengorganisirnya dan mengambil darinya semua kesimpulan yang diperlukan. Kekuatan Sosial Demokrasi ternyata ketakutan dan loncat mundur. Setelah usahanya yang berani dan heroik, kaum proletar ditinggalkan begitu saja untuk menghadapi kekosongan. Terganggunya (terhentikannya) gerakan revolusioner ini dalam kenyataanya menjadi faktor yang terpenting di dalam perkembangan fasisme. Di bulan September, perkembangan revolusioner menjadi terhenti; dan bulan November menjadi saksi dari sebuah demonstrasi penting yang pertama dari kaum fasis (direbutnya Bologna).
[Catatan: kampanye kekerasan kaum fasis dimulai di Bologna pada tangggal 21 November 1920. Ketika anggota dewan dari kubu Sosial Demokratik, pemenang pemilihan daerah, muncul di balai kota untuk memperkenalkan walikota yang baru, mereka disambut dengan tembakan senapan yang membunuh 10 orang dan mencederai 100 lainnya. Kaum fasis menindak lanjutinya dengan "ekspedisi penghukuman" ke wilayah-wilayah pedesaan di sekitarnya yang merupakan daerah kubu "Liga Merah". "Skuadron Aksi" berseragam hitam dengan kendaraan yang disuplai oleh para tuan tanah besar mengambil alih desa-desa dengan serangan kilat, memukul dan membunuh petani-petani kiri dan pemimpin-pemimpin buruh, menghancurkan markas-markas organisasi radikal, dan meneror para penduduk. Didorong oleh kesuksesan mereka yang mudah, kaum fasis kemudian meluncurkan serangan dalam skala besar di kota-kota besar.]
Adalah benar bahwa kaum proletar, bahkan sesudah bencana September, masih mampu melaksanakan pertempuran defensif. Tapi kubu Sosial Demokrasi hanya peduli dengan satu hal: menarik para pekerja dari pertempuran dengan timbal balik konsesi. Kubu Sosial Demokrasi berharap bahwa sikap pasif kaum pekerja akan mengembalikan ‘opini publik’ kaum borjuis untuk melawan kaum fasis. Celakanya lagi, kaum reformis bahkan menggantungkan harapannya pada raja Victor Emmanuel. Sampai pada jam yang terakhir, mereka masih sekuat tenaga berusaha mencegah kaum pekerja untuk memerangi kelompok-kelompok Mussolini. Ini tidak menghasilkan apapun untuk mereka. Sang raja, bersama dengan lapisan atas borjuis, pindah ke pihak fasisme. Setelah menyadari pada momen terakhir bahwa kubu fasisme tak bisa dikontrol lagi, kubu Sosial Demokrat menyerukan kepada para pekerja untuk mengadakan mogok umum. Tapi pengumuman mereka menemui kegagalan. Kaum reformis sudah memlembabi bubuk mesiu ini terlalu lama karena takut bubuk mesiu ini akan meledak. Ketika mereka dengan tangan gemetar ingin membakar bubuk mesiu ini, bubuk tersebut tak mau terbakar.
Dua tahun sesudah kemunculan pertamanya, fasisme berkuasa penuh. Fasisme ini diuntungkan oleh fakta bahwa periode pertama dari kekuasannya ditandai dengan sebuah kondisi ekonomi yang positif, setelah masa depresi di tahun 1921-22. Kaum fasis menghancurkan massa proletar yang sedang mundur dengan mengerahkan massa borjuis kecil secara besar-besaran. Tapi hal tersebut tidaklah dicapai dengan sekali pukul. Bahkan sesudah dia meraih kekuasaan, Mussolini menjalankan pemerintahannya dengan hati-hati: karena belum adanya model pemerintahan fasis di masa itu. Selama dua tahun pertama, bahkan konstitusi tidak dirubah. Pemerintahan fasis mengambil bentuk karakter sebuah koalisi. Di tengah-tengah periode tersebut, kelompok-kelompok fasis sibuk bekerja dengan kayu pemukul, pisau, dan pistol. Hanya dengan demikian pemerintah fasis terbentuk secara perlahan-lahan, yang berarti pencekikan penuh bagi semua organisasi massa independen.
Mussolini mencapai semua itu dengan jalan membirokratiskan partai fasis. Setelah menggunakan kekuatan kaum borjuis kecil, fasisme mencekik mereka dengan cekikan negara borjuis. Mussolini tidak mungkin tidak melakukan hal tersebut, sebab kekecewaan dari massa yang dia sudah persatukan telah menjelma menjadi bahaya langsung yang paling besar didepannya. Berubah menjadi birokratis, fasisme hampir-hampir menyamai bentuk kediktaturan polisi dan militer. Fasisme tidak lagi memiliki dukungan sosial seperti sebelumnya. Bagian utama dari fasisme – borjuis kecil — telah tereduksi. Hanya kemandegan historis yang menyebabkan pemerintah fasis tetap mampu membuat kaum proletar dalam keadaan yang terpecah-pecah dan menyedihkan...
Dalam kasus Hitler, kaum sosial demokrasi Jerman secara politik tak mampu menambahkan apapun: yang dilakukannya hanya mengulang secara menjemukan apa yang telah dilakukan kaum reformis Italia dengan temperamen yang lebih besar. Kaum reformis Italia menjabarkan fasisme sebagai sebuah kegilaan paska perang; kaum reformis Jerman melihatnya sebagai bentuk ‘Versailles’ atau kegilaan akibat krisis. Dalam kedua kasus tersebut, kaum reformis menutup mata mereka terhadap karakter organik fasisme sebagai sebuah gerakan massa yang muncul dari kejatuhan yang dialami kapitalisme.
[Catatan: Perjanjian Versailles, dijatuhkan pada Jerman sesudah Perang Dunia Pertama; hal yang paling dibenci darinya adalah ganti rugi tanpa batas waktu yang harus diserahkan pada kubu Sekutu dalam bentuk ‘perbaikan’ bagi kerusakan dan kehilangan akibat perang. "Krisis" yang dimaksud pada paragraf di atas adalah depresi ekonomi yang menyapu dunia kapitalis setelah kolapsnya Wall Street di tahun 1929.]
Takut terhadap mobilisasi pekerja revolusioner, kaum reformis Italia menggantungkan semua harapannya pada ‘negara’. Slogan mereka adalah, ‘Tolong! Victor Emmanuel, tekanlah mereka!’ Kaum Sosial Demokrasi Jerman tidak memiliki sokongan demokratik seperti halnya sebuah monarki yang setia pada konstitusi. Mereka harus puas dengan seorang presiden – ‘Tolong! Hindenburg, tekanlah mereka!’
[Catatan: Marshal Paul von Hindenburg (1847-1934), jendral kaum Junker yang meraih ketenaran pada perang dunia pertama dan tak lama berselang menjadi presiden republik Weimar. Di tahun 1932, kaum sosial demokrat mendukungnya dalam pemilu ulang sebagai ‘yang tidak lebih jahat’ dibandingkan dengan Nazi. Hindenburgh menunjuk Hitler sebagai kanselir di bulan Januari 1933.]
Saat berperang melawan Mussolini, atau dalam kata lain saat mundur dari hadapan Mussolini, Turati mengangkat mottonya yang spektakular, "seseorang harus memiliki kedewasaan untuk menjadi seorang pengecut." [Filippo Turati (1857-1937), teoritikus reformis terkenal Partai Sosialis Italia.] Kaum reformis Jerman lebih sedikit serius dengan slogan-slogan mereka. Mereka menuntut "Keberanian dalam ketidakpopuleran" (Mut zur Unpopularitaet) – yang artinya sama saja. Seseorang harus berani melawan ketidakpopuleran yang disebabkan oleh kepengecutannya sendiri yang cuma menunggu kesempatan baik dari musuh.
Penyebab-penyebab yang sama akan menghasilkan efek-efek yang sama pula. Bila deretan peristiwa-peristiwa bertumpu pada kepemimpinan partai Sosial Demokrasi, karir Hitler bisa dipastikan menjadi lancar.
Namun kita harus mengakui bahwa Partai Komunis Jerman juga belajar sedikit dari pengalaman Italia.
Partai Komunis Italia terbentuk pada waktu yang hampir bersamaan dengan fasisme. Tetapi, kondisi-kondisi kemandegan revolusioner yang sama, yaitu yang membawa kaum fasis pada kekuasaan, terbukti menghambat perkembangan partai Komunis. Mereka tidak mengerti sepenuhnya akan bahaya fasisme; mereka menidurkan diri mereka sendiri dengan ilusi-ilusi revolusioner; mereka menentang secara kuat kebijakan front persatuan; singkatnya, mereka menderita penyakit kekanak-kanakan. Tidaklah mengejutkan! Umurnya hanyalah dua tahun. Dalam pandangan matanya, fasisme muncul hanya sebagai ‘reaksi kapitalis’. Partai Komunis Italia tidak bisa mengerti karakter-karakter khusus fasisme yang berasal dari mobilisasi borjuis kecil melawan massa proletar. Kecuali Gramsci, kawan-kawan Italia menginformasikan pada saya bahwa Partai Komunis bahkan tidak memperhitungkan adanya kemungkinan-kemungkinan perebutan kekuasaan oleh kaum fasis. Setelah revolusi proletar telah menderita kekalahan, setelah kapitalisme telah merebut posisinya dan kubu kontra revolusioner berkuasa, mana mungkin terdapat jenis kebangkitan kontra revolusioner yang lain? Bagaimana bisa kaum borjuis melawan dirinya sendiri! Inilah inti dari orientasi politik Partai Komunis Italia. Akan tetapi, seseorang haruslah melihat kenyataan bahwa fasisme Italia merupakan sebuah fenomena baru, yang sedang dalam proses pembentukan; adalah sulit, bahkan bagi sebuah partai yang lebih berpengalaman, untuk memahami karakter khusus fasisme.
[Catatan: Antonio Gramsci (1891-1937): seorang pendiri Partai Komunis Italia, dipenjarakan oleh Mussolini pada tahun 1926, meninggal dalam tahanan sebelas tahun kemudian. Dia mengirimkan surat dari dalam penjara, atas nama komite politik Partai Komunis Italia, memprotes kampanye Stalin melawan kubu Oposisi Kiri. Taglatti, sebagai wakil dari Italia di Komintern di Moscow saat itu, mensensor surat tersebut. Sepanjang era Stalin, memori tentang Gramsci dihapuskan secara sengaja. Dalam periode de-Stalinisasi, dia ‘ditemukan kembali’ oleh Partai Komunis Italia dan secara formal dinobatkan sebagai pahlawan dan martir. Sejak itu, banyak sekali pengakuan internasional terhadap tulisan-tulisan teoritikalnya, terutama catatan Gramsci dalam penjara.]
Kepemimpinan Partai Komunis Jerman sekarang mengulangi hampir secara harfiah posisi-posisi yang diambil oleh Partai Komunis Italia; fasisme tidak lain adalah reaksi kapitalis; dari sudut pandang kaum proletar, perbedaan antara tipe-tipe dari reaksi kapitalis adalah tidak penting sama sekali. Radikalisme vulgar seperti ini kurang bisa dimaafkan mengingat partai Komunis Jerman adalah lebih tua dibandingkan Partai Komunis Italia pada saat itu; dan juga, Marxisme saat ini telah diperkaya oleh pengalaman tragis di Italia. Menekankan bahwa fasisme sudah ada di sini atau menolak kemungkinan mereka merebut kekuasaan, secara politis berujung ke hal yang sama. Dengan mengabaikan sifat spesifik dari fasisme, kemauan untuk melawan fasisme akan menjadi lumpuh.
Pihak yang harus memikul tanggung jawab dari semua ini, tentu saja, adalah kepemimpinan Komintern. Dari semua orang, kaum komunis Italia seharusnya wajib untuk memperingatkan kaum Komunis Jerman. Tapi Stalin, bersama dengan Manuilsky, memaksa mereka untuk menyangkal pelajaran terpenting dari kehancuran mereka sendiri.
[Catatan: Dmitri Manuilsky (1883-1952): mengepalai Komintern dari 1929 sampai 1934; pemecatannya menandai perubahan dari ultra-kiri ke oportunisme periode Front Popular. Belakangan muncul di panggung diplomatik, sebagai delegasi untuk PBB.]
Kita juga telah mengamati dengan kecepatan seperti apa Ercoli melompat ke posisi sosial fasisme — dalam kata lain, ke posisi pasif menunggu kemenangan fasis di Jerman.
[Catatan: Ercoli. Nama pena komintern untuk Palmiro Togliatti (1893-1964). Mengepalai Partai Komunis Italia setelah pemenjaraan Gramsci. Dia mempertahankan semua garis zigzag komintern, tetapi setelah kematian Stalin dia mengkritisi pemerintahan Stalin bersama dengan karakter-karakternya yang masih berlanjut di Uni Soviet dan gerakan komunis internasional.]
Pemberitaan resmi Komintern menggambarkan hasil dari pemilu di Jerman (September 1930) sebagai sebuah kemenangan besar bagi Komunisme, yang semakin menggelorakan slogan Soviet Jerman. Kaum optimis birokratis tidak ingin bercermin pada pengertian dari dinamika kekuatan yang terlihat dari statistik pemilu. Mereka melihat naiknya jumlah pemilih Komunis secara terpisah dari tugas-tugas revolusioner yang diciptakan oleh situasi tersebut dan halangan-halangan yang muncul. Partai Komunis menerima sekitar 4,600,000 suara dibandingkan dengan 3,300,000 pada tahun 1928. Dari sudut pandang mekanisme parlementer ‘normal’, peraihan 1,300,000 suara adalah signifikan, bahkan jika kita memperhitungkan naiknya jumlah total pemilih. Tapi prestasi partai ini akan memudar jika kita memperhatikan kenaikan fasisme dari 800,000 menjadi 6,400,000 suara. Hal yang tak kurang penting untuk dievaluasi adalah kenyataan bahwa kubu Sosial Demokrasi, lepas dari kekalahan-kekalahan substansial mereka, tetap mampu mempertahankan kader-kader utama mereka dan masih menerima suara dari buruh yang lebih besar [8,600,000] dibandingkan dengan partai Komunis.
Sementara itu, jika kita harus bertanya pada diri kita sendiri, ‘kombinasi keadaan internasional dan domestik apa yang mampu membelokkan kelas pekerja ke Komunisme dengan kecepatan yang lebih hebat?’ kita tidak dapat menemukan keadaan yang lebih tepat selain situasi di Jerman dewasa ini: Young's Noose, krisis ekonomi, disintegrasi pemerintahan, krisis parlementarianisme, terbongkarnya kebangkrutan Sosial Demokrasi yang sekarang berkuasa. Melihat keadaan historis yang konkrit ini, daya tarik dari Partai Komunis Jerman dalam kehidupan sosial bangsa, walaupun meraih 1,300,000 suara, tetap kecil secara proporsional.
[Catatan: ‘Young's Noose ’: sebuah referensi pada “Young Plan”. Owen D. Young, seorang pelaku bisnis kenamaan dari Amerika, yang merupakan Agent-General bagi perbaikan Jerman selama 1920-an. Dimusim panas 1929, dia menjadi ketua dari sebuah konferensi yang mengadopsi rencananya untuk menggantikan Dawes Plan yang tidak sukses demi ‘memfasilitasi’ pembayaran Jerman terhadap perbaikan-perbaikan seperti yang tercantum dalam perjanjian Versailles.]
Kelemahan dari posisi Komunisme, yang tanpa bisa dipungkiri bersumber pada kebijakan dan rezim Komintern, akan terlihat lebih jelas jika kita membandingkan pengaruh sosial Partai Komunis dengan tugas-tugas konkrit yang tidak bisa ditunda lagi yang telah dibebankan padanya oleh kondisi historis sekarang ini.
Adalah benar bahwa Partai Komunis sendiri tak mengharapkan pencapaian semacam itu. Ini membuktikan bahwa di bawah hempasan kesalahan dan kekalahan, kepemimpinan partai-partai Komunis menjadi tidak biasa dengan tujuan-tujuan dan pemikiran-pemikiran besar. Kalau kemarin mereka meremehkan kesempatan-kesempatan yang mereka punyai, kali ini mereka sekali lagi meremehkan kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi. Akibatnya, satu bahaya menjadi semakin berlipatganda.
Padahal, karakter pertama dari partai yang benar-benar revolusioner adalah mampu untuk melihat realitas yang ada di depannya.
Dalam rangka menggiring krisis sosial ke revolusi proletar, adalah penting bahwa, disamping kondisi lainnya, pergeseran yang menentukan dari kaum borjuis kecil terjadi ke arah proletar. Ini akan memberikan kesempatan bagi proletar untuk menempatkan dirinya pada garda depan bangsa sebagai pemimpin.
Pemilu yang terakhir memperlihatkan sebuah pergeseran ke arah yang berbeda - disinilah terdapat signifikansi utama dari gejala-gejala fasisme. Di bawah hantaman krisis, kaum borjuis kecil berbelok, tidak ke arah revolusi proletar, tapi ke arah reaksi imperialis yang paling ekstrem, yang juga menarik dibelakangnya sebagian massa proletar yang cukup besar.
Pertumbuhan besar dari Sosialisme Nasional adalah sebuah ekspresi dari dua faktor: krisis sosial yang mendalam, yang megoyangkan stabilitas massa borjuis kecil, dan tidak adanya partai revolusioner yang dianggap oleh massa rakyat sebagai pemimpin revolusioner yang bisa diterima oleh mereka. Jika partai Komunis adalah partai pengharapan revolusioner, maka fasisme, sebagai sebuah sebuah gerakan massa, adalah partai keputus-asaan kontra-revolusioner. Saat pengharapan revolusioner merengkuh seluruh massa proletar, bagian-bagian borjuis kecil yang tumbuh dan dalam jumlah yang patut diperhitungkan akan terseret ke arah jalan revolusi. Dalam lingkup ini, hasil pemilu ini secara jelas memperlihatkan gambaran yang berlawanan: keputus-asaan kontra-revosioner merangkul borjuis kecil dengan kekuatan yang sangat besar sehingga ia juga menarik banyak massa proletariat ...
Fasisme di Jerman benar-benar telah menjadi ancaman yang nyata; sebagai ekspresi akut dari posisi rezim borjuis yang tak tertolong lagi, peranan konservatif dari Sosial Demokrasi dalam rezim ini, dan ketidakberdayaan partai Komunis untuk mengenyahkannya. Siapapun yang menolak fakta ini adalah buta atau pembual belaka....
Bahaya tersebut menjadi semakin akut dalam hubungannya dengan tempo perkembangannya, yang tidak bergantung pada kita semata. Karakter mendadak dari kurva politik seperti yang terlihat dari hasil pemilu menunjukkan fakta bahwa tempo perkembangan krisis nasional dapat berubah dengan sangat cepat. Dengan kata lain, rentetan-rentetan kejadian penting dapat hadir kembali di Jerman esok hari, di dalam jalan historis yang baru; kontradiksi usang antara kematangan situasi revolusioner, pada satu pihak, dan kelemahan serta impotensi partai revolusioner, pada lain pihak. Ini harus dibeberkan secara jelas, terbuka dan, terutama, tepat pada waktunya.
Dapatkah kekuatan perlawanan konservatif buruh Sosial Demokrat diprediksi sebelumnya? Tidak bisa. Berdasarkan kejadian-kejadian tahun lalu, kekuatan ini terlihat sangat besar. Tetapi sebenarnya, faktor yang paling membantu penggelembungan Sosial Demokrasi adalah kebijakan Partai Komunis yang salah, yang menemukan generalisasi tertingginya dalam teori sosial fasisme yang tidak masuk akal. Untuk mengukur perlawanan nyata dari anggota-anggota sosial demokrat, dibutuhkan instrumen pengukur yang berbeda, yaitu, taktik Komunis yang tepat. Lewat cara ini – dan ini bukanlah hal yang remeh – tingkatan persatuan internal dari Sosial Demokrasi dapat diukur dalam sebuah periode yang terhitung singkat.
Dalam bentuk yang berbeda, apa yang baru dijelaskan di atas dapat diaplikasikan pada fasisme: fasisme bersumber, terlepas dari kondisi-kondisi lain yang hadir, dari kekacauan strategi Zinoviev-Stalin. Di manakah letak kekuatan serangannya? Dimanakah letak stabilitasnya? Sudahkah dia mencapai titik kulminasi, sebagaimana yang kaum ex-officio optimis [Komintern dan pejabat-pejabat Partai Komunis] katakan kepada kita, atau apakah ini barulah langkah pertama dari jenjang yang ada? Hal-hal tersebut tidak bisa diprediksi secara mekanis. Mereka hanya bisa ditentukan lewat aksi. Khususnya dalam hal fasisme, yang merupakan pisau di tangan kelas musuh, kebijakan yang salah dari Komintern dapat menghasilkan hasil-hasil fatal dalam waktu singkat. Di lain pihak, kebijakan yang benar – meski tidak dalam periode sesingkat itu - bisa melumpuhkan posisi fasisme....
[CATATAN: "Strategi Zinoviev-Stalin": Gregory Y. Zinoviev (1883-1936), ketua Komintern mulai dari pembentukannya di tahun 1919 sampai pemecatannya oleh Stalin pada tahun 1926. Setelah kematian Lenin, Zinoviev dan Kamenev membentuk sebuah blok dengan Stalin (Troika) untuk melawan Trotsky dan mendominasi partai Soviet. Pada masa dominasi Zinoviev-Stalin dalam Komintern, garis oportunis menggiring gerakan pada kekalahan demi kekalahan dan pelewatan kesempatan-kesempatan yang berharga, terutama penundaan revolusi Jerman pada 1923. Setelah pecah dengan Stalin, Zinoviev menyatukan pengikutnya dengan Oposisi Kiri Trotskyist. Tetapi pada tahun 1928, setelah pemecatannya dari partai Oposisi Persatuan, Zinoviev kembali ke Stalin. Setelah diterima kembali oleh partai, dia ditendang keluar lagi di tahun 1932. Setelah mengingkari semua pandangan-pandangan kritisnya, dia diterima lagi, tapi di tahun 1934, dia dikeluarkan dan dipenjara. Dia "mengaku" dalam Pengadilan Moscow pada tahun 1936 dan dieksekusi.]
Jika partai Komunis, walaupun di dalam keadaan yang menguntungkan, terbukti tak berdaya mengguncang struktur kubu Sosial Demokrasi dengan bantuan formula sosial fasisme, maka fasisme yang riil sekarang mengancam struktur tersebut, tak lagi dengan formula muluk-muluk yang disebut radikalisme, tetapi dengan formula kimia yang menghasilkan ledakan-ledakan. Tak peduli seberapa benar bahwa Sosial Demokrasi melalui kebijakannya secara keseluruhan mengkondisikan mekarnya fasisme, tetapi juga benar kenyataaan bahwa fasisme datang sebagai ancaman mematikan terutama bagi kubu Sosial Demokrasi, yaitu mereka-mereka yang kebesarannya ditopang oleh bentuk-bentuk pasifis-demokratik-parlementer dan metode-metode pemerintah...
Kebijakan front persatuan para buruh untuk melawan fasisme mengalir dari situasi ini. Ini membuka kesempatan yang luar biasa bagi Partai Komunis. Tapi kondisi untuk kemenangan harus diwujudkan dalam bentuk penolakan terhadap teori dan praktek dari sosial fasisme, yang kesalahannya menjadi tanda positif dalam keadaan saat ini.
Krisis sosial secara tidak terelakkan akan menghasilkan perpecahan-perpecahan yang mendalam di dalam kubu Sosial Demokrasi. Radikalisasi dari massa akan mempengaruhi kubu Sosial Demokrat. Kita harus membikin persetujuan dengan berbagai organisasi-organisasi Sosial Demokratik dan faksi-faksi yang melawan fasisme, dengan menaruh prasyarat-prasyarat yang jelas atas hubungan ini kepada para pemimpin sosial demokrasi, di depan mata massa.... Kita harus segera meninggalkan segala omong kosong ofisial tentang front persatuan dan mulai melihat kembali kebijakan front persatuan seperti yang diformulasikan oleh Lenin dan selalu diterapkan oleh Bolshevik di tahun 1917.
Seorang penjual ternak suatu waktu menggiring beberapa kerbau ke penyembelihan. Dan sang penyembelih datang pada malam hari dengan pisau tajamnya.
‘Mari kita merapatkan barisan dan kita tanduk si penyembelih,’ saran salah satu dari kerbau-kerbau tersebut.
‘Jika anda tak keberatan, tolong katakan dalam hal apa si penyembelih lebih buruk dari si penjual ternak yang telah menggiring kita kemari dengan tongkatnya?’ balas kerbau-kerbau lain, yang telah menerima pendidikan politiknya dari institut Manuilsky. [Maksud Trotsky disini adalah Komintern.]
‘Tapi, kita juga mampu untuk membereskan si penjualnya juga sesudahnya!’
‘Tak ada yang perlu dikerjakan,’ balas kerbau-kerbau itu lagi secara tegas kepada sang pengusul. "Kamu mencoba, dari kiri, untuk melindungi musuh kita — kamu adalah si penyembelih-sosial itu sendiri."
Dan mereka menolak untuk merapatkan barisan.
Menghadapi ancaman nyata, kaum Sosial Demokrasi menggantungkan harapannya bukan pada ‘Front Besi’, melainkan pada polisi Prusia. Kenyataan bahwa banyak polisi tersebut direkrut dari kalangan pekerja Sosial-Demokratik tidaklah berarti sama sekali. Kesadaran ditentukan oleh lingkungan, juga dalam kasus ini. Pekerja yang menjadi seorang polisi dalam sebuah negara kapitalis, adalah seorang polisi borjuis, bukanlah seorang pekerja. Dalam tahun-tahun terakhir, polisi-polisi ini memerangi lebih banyak pekerja revolusioner dibandingkan pengikut-pengikut Nazi. Pelatihan seperti itu meninggalkan efek-efek yang khas. Dan, di atas segalanya: setiap polisi tahu bahwa meski pemerintah dapat berganti, polisi akan tetap bertahan.
[Catatan: ‘Front Besi’: sebuah blok yang terdiri dari beberapa serikat buruh yang besar dan kelompok-kelompok borjuis 'republiken' yang memiliki sedikit prestise, atau tidak sama sekali, di antara massa. Blok ini dibentuk oleh Sosial Demokrat diakhir 1931. Kelompok-kelompok tempur yang disebut Tinju Besi (Iron Fist) dibentuk dalam serikat-serikat buruh ini, dan organisasi olahraga para pekerja digiring ke dalam Front Besi. Dalam parade dan rally awal mereka, ribuan pekerja mengangkat tangannya, meneriakkan ‘kebebasan’, dan bersumpah untuk mempertahankan demokrasi. Massa dalam partai Sosial Demokratik dan serikat-serikat buruh percaya bahwa organisasi ini akan digunakan untuk menghentikan Hitler. Tetapi ini tidak terjadi.]
Dalam isu tahun baru mereka, organ teoritis dari kubu Sosial Demokrasi, Dar Freie Wort (sungguh sebuah lembaran-lembaran terbitan yang buruk!) menerbitkan sebuah artikel yang mengagung-agungkan kebijakan ‘toleransi’. Hitler dilukiskan tak akan mampu menundukkan polisi dan Reichswehr [Tentara Jerman]. Berdasarkan konstitusi, Reichswehr berada di bawah komando presiden Republik Jerman. Karenanya, demikian mereka menyimpulkan, fasisme tidaklah berbahaya sepanjang pemerintahan dipegang oleh presiden yang taat pada konstitusi. Rezim Bruening harus didukung sampai pemilihan presiden sehingga presiden yang konstitusional bisa terpilih melalui sebuah aliansi dengan borjuis parlementer; dan maka dari itu jalan Hitler ke kekuasaan akan tertutup untuk tujuh tahun ke depan....
[Catatan: Heinrich Bruening adalah kanselir dari tahun 1930-32. Pemerintahan parlementer reguler di Jerman berakhir pada Maret 1930. Sesudahnya diikuti oleh beberapa rangkaian rezim Bonapartist – yaitu Bruening, von Papen, von Schleicher, kanselir-kanselir yang memerintah dengan tidak berdasarkan pada prosedur parlementer biasa, tetapi dengan prosedur ‘darurat’. Figur-figur Bonapartis ini menampilkan diri mereka sebagai penyelamat politik yang dibutuhkan negara untuk melewati krisis, dan oleh karenanya mereka berada di atas kelas dan partai. Mereka tidak bergantung pada partai demokratis borjuis yang lama tetapi pada komando mereka terhadap polisi, tentara, dan birokrasi pemerintahan. Berpura-pura menyelamatkan negara dari bahaya dari kubu kiri (sosialis dan komunis) dan kanan (fasis), mereka melepaskan pukulan terkeras mereka pada pihak kiri, karena kepentingan utama mereka adalah menyelamatkan kapitalisme.]
Politikus-politikus reformis — para ahli kolusi yang bodoh, ahli intrik dan pemuja karir yang lihai, konspirator kementerian dan parlementar yang hebat — terlempar dari kekuasaan mereka secara cepat oleh rangkaian peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dihadapkan pada kontigensi mendesak, mereka menampakkan diri mereka sebagai – tak ada ekspresi yang lebih sopan selain ini – mayat-mayat yang inkompeten.
Bergantung pada seorang presiden sama halnya dengan bergantung pada ‘pemerintah’! Dihadapkan pada bentrokan yang akan muncul antara proletar dan borjuis kecil fasis – dua kubu mayoritas di negara Jerman – kaum Marxis dari Vorwaerts [koran utama sosial demokratik] berteriak pada para penjaga malam untuk memberikan bantuan pada mereka "Tolong! Pemerintah, tekanlah mereka!" (Staat, greif zu!)
Semua analisa serius terhadap situasi politik harus mengambil titik berangkat dari hubungan mutual antara tiga kelas: borjuis, borjuis kecil (termasuk para petani), dan proletar.
Borjuis yang kuat secara ekonomi mewakili bagian kecil dari sebuah negara. Untuk memperkuat dominasinya, mereka harus memastikan hubungan mutual yang pasti dengan borjuis kecil dan dengan kelas proletariat melalui perantaraan borjuis kecil.
Untuk memahami hubungan dialektis antara tiga kelas tersebut, kita harus membedakan tiga tahapan sejarah: pada saat awal perkembangan kapitalistik, ketika kaum borjuis menggunakan metode-metode revolusioner untuk menyelesaikan tugas-tugasnya; pada periode pertumbuhan dan pendewasaan rezim kapitalis, saat borjuis membentuk dominasinya dengan bentuk-bentuk yang demokratis, konservatif, pasifis, dan stabil; dan akhirnya, pada periode kemunduran kapitalisme, saat kaum borjuis dipaksa untuk menggunakan metode-metode perang sipil dalam melawan proletar untuk menjaga hak eksploitasinya.
Karakterisrik program politik dari tiga tahapan ini – JACOBINISME [sayap kiri kekuatan borjuis kecil pada revolusi Prancis; pada fase paling revolusionernya, dipimpin oleh Robespierre], reformis DEMOKRASI (termasuk Sosial Demokrasi), dan FASISME – adalah program-program mendasar dari tendensi borjuis kecil. Fakta ini sendiri, diatas segalanya, memperlihatkan betapa maha pentingnya — bukannya sekedar penting saja — penentuan-diri massa borjuis kecil bagi keseluruhan nasib masyarakat borjuis.
Tapi, hubungan antara borjuis dan dukungan sosialnya, yaitu borjuis kecil, sama sekali tidak bersandarkan pada kepercayaan mutual dan kolaborasi mutual. Berdasarkan karakter massanya, borjuis kecil adalah sebuah kelas yang tersisihkan dan tereksploitasi. Mereka melihat kaum borjuis dengan rasa iri dan sering juga dengan rasa benci. Kaum borjuis, pada pihak lain, tidak mempercayai kaum borjuis kecil walaupun menggunakan dukungan dari mereka, karena mereka sangat takut terhadap kecenderungan kaum borjuis kecil untuk menghancurkan batasan-batasan yang dibentuknya dari atas.
Saat mereka merencanakan dan melapangkan jalan bagi perkembangan borjuis, dalam setiap langkah mereka kaum Jacobin terlibat dalam pertentangan yang tajam dengan kaum borjuis. Mereka melayani kaum borjuis di dalam perjuangan mereka yang keras dalam melawan borjuis. Setelah mereka telah mencapai titik tertinggi dari peran historis mereka yang terbatas, kaum Jacobins jatuh, karena dominasi kapital adalah sesuatu yang sudah pasti.
Melewati serangkaian tahapan, kaum borjuis kemudian membangun kekuasaannya dalam bentuk demokrasi parlementer. Walaupun demikian, hal tersebut tidak dilakukan secara damai dan sukarela. Kaum borjuis benar-benar takut terhadap hak pilih universal. Tapi pada akhirnya, dengan bantuan kombinasi antara kekerasan dan konsesi, antara penindasan dan perubahan (reformasi), mereka berhasil mensubordinasi ke dalam kerangka kerja demokrasi formal tidak hanya kaum borjuis kecil tapi juga kaum proletar secara signifikan, melalui kelas borjuis kecil baru – yaitu kaum buruh aristokrat. Pada bulan Agustus 1914, kaum borjuis imperialis mampu, melalui cara demokrasi parlementer, memimpin jutaan pekerja dan petani ke dalam perang.
[CATATAN: 4 Agustus 1914: kolapsnya Internasional Kedua. Wakil-wakil Partai Sosial Demokratik Jerman di Reichstag memvoting budget perang pemerintahan imperialis; pada hari yang sama, wakil-wakil Partai Sosialis Prancis juga melakukan hal yang sama dalam ‘Chamber of Deputies’.]
Tetapi dengan adanya perang muncullah kemunduran yang besar dalam kapitalisme dan terutama pada bentuk demokratis dari dominasinya. Tidak ada lagi perubahan-perubahan dan revisi-revisi yang baru, tetapi yang ada adalah pemotongan dan penghapusan perubahan-perubahan yang sudah ada. Dengan ini, kubu borjuis bertentangan tidak hanya dengan institusi demokrasi proletarian (organisasi-organisasi buruh dan partai-partai politik) tetapi juga dengan demokrasi parlementer yang melahirkan organisasi-organisasi buruh di dalam kerangkanya. Karena itu, kampanye yang mereka lakukan adalah melawan ‘Marxisme’ pada satu pihak dan melawan parlementarisme demokratis pada pihak yang lain.
Tapi seperti halnya borjuis liberal yang pada zamannya tidak mampu dengan kekuatan mereka sendiri menghancurkan feudalisme, monarki, dan gereja, kaum kapital saat ini juga tak mampu dengan kekuatan mereka sendiri berhadapan dengan proletar. Mereka butuh dukungan borjuis kecil. Untuk tujuan ini, mereka harus dihela, dikuatkan, dimobilisasi, dan dipersenjatai. Tetapi metode ini menyimpan bahaya-bahayanya sendiri. Meskipun kaum borjuis menggunakan fasisme, mereka juga takut terhadap fasisme. Pada bulan Mei 1926, Pilsudski dipaksa untuk menyelamatkan masyarakat borjuis melalui kudeta yang diarahkan melawan partai-partai tradisional borjuis Polandia. Masalah ini berkembang jauh. Pemimpin partai Komunis Polandia, Warski, yang berasal dari kubu Rosa Luxemburg dan kemudian menyeberang ke kubu Stalin dan bukannya Lenin, menganggap kudeta Pilsudski sebagai jalan menuju "kediktatoran revolusioner demokratik" dan menyerukan kepada para buruh untuk mendukung Pilsudski.
[CATATAN: Joseph Pilsudski (1876-1935): seorang sosialis dengan pandangan-pandangan nasionalistik, pada tahun 1920, dia memimpin kekuatan anti-Soviet di Polandia; di tahun 1926, dia memimpin sebuah kudeta dan membangun sebuah kediktatoran fasis. Warski, teman dari Rosa Luxemburg, dia mendukung Luxemburg di dalam perdebatannya dengan kaum Bolshevik. Saat Komintern berzigzag ke kiri dalam fase ‘Periode Ketiga’-nya, Warski diturunkan dari kepemimpinan Partai Komunis Polandia, tapi tidak dipecat. Dia menghilang dari Uni Soviet pada masa pembersihan besar-besaran di tahun 1936-38. Rosa Luxemburg (1870-1919): Teoritikus dan pemimpin besar revolusioner. Pada awalnya aktif dalam gerakan sosialis di Polandia tempat asalnya, dia kemudian menjadi pemimpin sayap kiri Partai Sosial Demokratik Jerman. Rosa dan Karl Liebknecht dipenjara karena perlawanannya terhadap Perang Dunia I. Sesudah mereka dibebaskan, mereka memimpin Spartakusbund. Keduanya dipenjara dan dibunuh saat revolusi yang gagal pada tahun 1919.]
Pada pertemuan Komisi Polandia dari Komite Eksekutif Komintern pada tanggal 2 Juli 1926, penulis artikel ini (maksudnya Leon Trotsky sendiri) menyikapi kejadian-kejadian di Polandia itu:
“Dilihat secara menyeluruh, kudeta kubu Pilsudski adalah cara-cara borjuis kecil, cara-cara 'plebian', dalam mengatasi permasalahan mendesak masyarakat borjuis yang sedang mengalami pembusukan dan kemunduran. Di sini kita bisa melihat sebuah kemiripan langsung dengan fasisme Italia".
“Kedua bentuk fasisme ini memiliki ciri-ciri umum: mereka merekrut laskar penggempurnya terutama dari kelas borjuis kecil; Pilsudski seperti halnya Mussolini menggunakan metode-metode ekstra parlementer, dengan kekerasan secara terbuka, dengan metode-metode perang sipil; keduanya tidak mempunyai tujuan untuk menghancurkan masyarakat borjuis, sebaliknya mereka bertujuan melanggengkan masyarakat borjuis. Walaupun mereka memperkuat kubu borjuis kecil, mereka secara terbuka bergabung dengan borjuis besar setelah perebutan kekuasaan. Secara tidak sengaja, sebuah generalisasi sejarah muncul di sini, mengingatkan kita kembali pada evaluasi yang diberikan Marx menyangkut Jacobinisme sebagai metode plebian untuk menghancurkan musuh-musuh feodal kelas borjuis...Ini terjadi pada periode kebangkitan kelas borjuis. Saat ini kita harus mengatakan bahwa, pada periode kemundurannya, kelas borjuis sekali lagi menggunakan metode plebian dalam menyelesaikan tugas-tugasnya yang sudah tidak progresif lagi dan sungguh-sungguh reaksioner. Dalam pengertian ini, fasisme merupakan karikatur dari Jacobinisme."
“Kaum borjuis tak mampu mempertahankan kekuasaannya dengan cara dan metode-metode negara parlementer yang diciptakannya sendiri; mereka membutuhkan fasisme sebagai sebuah senjata pertahanan diri, setidaknya dalam waktu-waktu kritis. Walaupun demikian, kaum borjuis tidak menyukai metode 'plebian' dalam menyelesaikan masalahnya. Mereka selalu menentang Jacobinisme, yang telah membuka jalan bagi perkembangan masyarkat borjuis dengan darahnya. Kaum fasis lebih dekat dengan kaum borjuis yang mengalami kemunduran dibandingkan kaum Jacobin dengan kaum borjuis yang sedang bangkit. Tetapi, kaum borjuis yang sadar tidak terlalu mendukung metode fasis dalam menyelesaikan tugas-tugasnya meskipun mereka melayani kepentingan masyarakat borjuis, sebab mereka melihat bahaya dibaliknya. Karena itu terdapat oposisi dari partai-partai borjuis terhadap fasisme."
“Kaum borjuis menyukai fasisme seperti halnya seorang pria yang sakit gigi menyukai giginya dicabut. Lingkaran-lingkaran masyarakat borjuis yang sadar telah mendukung kerja sang dokter gigi Pilsudski dengan keraguan, tetapi pada analisa terakhir mereka menerima kenyataan yang tidak terelakkan ini, meski dengan ancaman-ancaman, dengan negosiasi-negosiasi alot dan segala bentuk tawar-menawar. Maka, idola kaum borjuis kecil di masa lalu itu berubah menjadi gendarme kapital (catatan editor: gendarme adalah polisi di negara Prancis)."
Dalam usaha membatasi ruang gerak historis dari fasisme sebagai penggusur politik Sosial Demokrasi, dimunculkanlah teori sosial fasisme. Pada awalnya teori ini muncul sebagai suatu kebodohan yang tidak berbahaya, penuh dengan jargon dan kepura-puraan. Kejadian-kejadian selanjutnya telah menunjukkan pengaruh destruktif teori Stalinis ini pada seluruh perkembangan Komunis International.
Apakah karena peran historis dari Jacobinisme, dari demokrasi, dan dari fasisme, maka kaum borjuis kecil dikutuk untuk tetap menjadi sebuah alat ditangan kapital sampai hari akhirnya? Jika hal tersebut benar adanya, maka kediktaturan proletariat akan menjadi mustahil di negara-negara dimana kaum borjuis kecil merupakan mayoritas dan, lebih dari itu, bahkan menjadi sangat sulit di negara lainnya dimana kubu borjuis kecil mewakili minoritas yang penting. Untungnya, hal itu tidak benar adanya. Pengalaman Komune Paris [‘kediktaturan proletariat’ yang pertama, 18 Maret 1871] telah menunjukkan, setidaknya di dalam batasan-batasan sebuah kota, seperti halnya pengalaman Revolusi Oktober [Revolusi Rusia 1917] telah menunjukkan sesudahnya dalam skala yang jauh lebih besar dan melewati periode yang jauh lebih panjang, bahwa aliansi kaum borjuis kecil dan borjuis besar tidaklah permanen. Karena borjuis kecil tidak mampu menghasilkan sebuah kebijakan yang independen (itu juga alasan mengapa ‘kedikatatoran demokratis’ borjuis kecil tak mampu terwujud), kelas ini tak memiliki pilihan lain yang tersisa baginya selain memilih antara kaum borjuis dan proletar.
Di dalam era kebangkitan, pertumbuhan, dan mekarnya kapitalisme, biasanya kaum borjuis kecil secara patuh berada dalam kontrol kapitalis, walaupun kadang-kadang terjadi ledakan-ledakan ketidakpuasan yang singkat. Mereka tak mampu melakukan hal lainnya. Tetapi di bawah kondisi disintegrasi kapitalisme dan kebuntuan situasi ekonomi, mereka berjuang, mencari, dan berusaha untuk melepaskan dirinya dari belenggu tuan-tuan dan penguasa-penguasa masyarakat yang lama. Mereka cukup mampu menghubungkan nasibnya dengan nasib kaum proletar. Untuk itu, hanya satu hal yang dibutuhkan: kaum borjuis kecil harus memperoleh kepercayaan pada kemampuan proletariat untuk memimpin masyarakat menuju jalan yang baru. Dan kaum proletar hanya dapat menginspirasikan kepercayaan ini melalui kekuatannya, melalui ketegasan tindakannya, melalui ofensif yang hebat melawan musuhnya, melalui kesuksesan kebijakan revolusionernya.
Tapi, terkutuklah jika partai revolusioner tidak mampu mengukur ketinggian suatu situasi! Perjuangan sehari-hari kaum proletar telah mempertajam ketidak-stabilan masyarakat borjuis. Mogok-mogok kerja dan gangguan-gangguan politik telah memperparah situasi ekonomi negara. Kaum borjuis kecil dapat menerima secara sementara kesengsaraan yang semakin memburuk, jika melalui pengalaman mereka muncul kepercayaan bahwa kaum proletar berada dalam posisi untuk memimpin mereka ke jalan yang baru. Tapi jika partai revolusioner, di dalam perjuangan kelas yang semakin menajam, selalu tidak mampu menyatukan kelas pekerja untuk tujuan ini, bila ia tidak bisa mengambil keputusan tegas, kebingungan, bertengkar sendiri, maka kaum borjuis kecil kehilangan kesabaran dan mulai melihat pekerja revolusioner sebagai mereka yang bertanggung jawab atas kesengsaraannya. Semua partai-partai borjuis, termasuk kaum Sosial Demokrasi, memusatkan pemikirannya untuk tujuan ini. Saat krisis sosial mencapai keparahan yang luar biasa, sebuah partai tertentu muncul dengan tujuan langsung mengagitasi kaum borjuis kecil dan mengarahkan kebencian dan kekecewaannya untuk melawan kaum proletar. Di Jerman, fungsi historis ini dilakukan oleh sosialisme nasional (Nazisme), sebuah gerakan yang luas yang ideologinya terdiri dari asap busuk masyarakat borjuis yang mengalami disintegrasi.
Sesudah perang, serangkaian revolusi-revolusi brilian penuh kemenangan hadir di Rusia, Jerman, Austria-Hungaria, dan lalu di Spanyol. Tetapi hanya di Rusialah kaum proletar merebut kekuasaan penuh di tangannya, menghancurkan penghisapnya, dan tahu bagaimana menciptakan dan mengelola negara buruh. Di semua tempat lainnya, kaum proletar, walaupun mereka menang, berhenti separuh jalan karena kesalahan kepemimpinan mereka. Akibatnya, kekuasaan lepas dari dari tangan mereka, bergeser dari kiri ke kanan, dan jatuh sebagai korban fasisme. Di negara-negara yang lain, kekuasaan jatuh ke tangan kediktaturan militer. Tak ada satupun parlemen yang mampu mendamaikan kontradiksi kelas dan menjanjikan kedamaian di dalam perkembangan peristiwa-peristiwa. Konflik-konflik diselesaikan dengan jalan kekerasan.
Dalam kurun waktu yang lama, masyarakat Prancis berfikir bahwa fasisme tak mempunyai urusan apa-apa dengan mereka. Mereka memiliki sebuah republik dimana semua permasalahan diselesaikan oleh rakyat yang bebas melalui implementasi hak pilih universal. Tetapi pada tanggal 6 Februari 1934, ribuan kaum fasis and royalis, dipersenjatai dengan revolver, tongkat pemukul, dan pisau, memaksakan sebuah pemerintahan reaksioner Doumergue, yang di bawah perlindungannya kelompok-kelompok fasis terus tumbuh dan mempersenjatai dirinya. Apakah yang akan terjadi di esok hari?
[Catatan: Gaston Doumergue: perdana menteri Bonapartist Prancis. Menggantikan Edouard Daladier. Pemerintahan Daladier jatuh sehari sesudah kerusuhan fasis pada tanggal 6 Februari 1934.]
Tentu saja, di Prancis, seperti juga di beberapa negara Eropa tertentu (Inggris, Belgia, Belanda, Swiss, negara-negara Skandinavia), parlemen, pemilihan umum, kemerdekaan demokratis, atau sisa-sisanya masih eksis. Tetapi di semua negara ini, hukum historis yang sama akan berjalan, yaitu hukum kemunduran kapitalisme. Jika alat-alat produksi tetap berada di tangan sebagian kecil kapitalis, tak ada jalan keluar bagi masyarakat. Mereka dikutuk masuk dari satu krisis ke krisis yang lain, dari kebutuhan ke kesengsaraan, dari yang sudah buruk menjadi lebih buruk lagi. Di berbagai negara, kehancuran dan disintegrasi kapitalisme terekspresi dalam beragam bentuk dan tempo yang tidak sama. Tetapi ciri-ciri dasar dari proses ini adalah sama di mana-mana. Kaum borjuis menggiring masyarakat menuju kebangkrutan penuh. Mereka tak mampu lagi meyakinkan masyarakat, baik tentang roti atau perdamaian. Inilah alasan kenapa mereka tak bisa lagi mentolerir keadaan yang demokratis. Mereka dipaksa untuk menghancurkan para pekerja dan petani dengan menggunakan kekerasan fisik. Namun kekecewaan para pekerja dan petani tidak bisa diselesaikan semata-mata oleh polisi saja. Terlebih lagi, membuat tentara melawan rakyat adalah hal yang sangat sulit dan hampir mustahil. Bila ini dilakukan, hal pertama yang terjadi adalah disintegrasi di dalam tentara dan berakhir dengan tergiringnya sejumlah besar tentara ke pihak rakyat.
Karena itulah, kaum kapitalis finansial terpaksa membentuk kelompok-kelompok tempur khusus, dilatih untuk memerangi para pekerja tak ubahnya anjing yang dilatih untuk berburu. Fungsi historis fasisme adalah untuk menghancurkan kelas buruh, menghancurkan organisasi-organisasinya, dan merampas kemerdekaan politik ketika kaum kapitalis menyadari bahwa mereka tak mampu lagi memimpin dan mendominasi dengan mesin demokrasi.
Kaum fasis mendapatkan sumber daya manusianya dari kaum borjuis kecil. Kaum borjuis kecil telah hancur luluh-lantak oleh kapitalis besar. Tak ada jalan keluar bagi mereka di dalam kondisi sosial saat ini, mereka tidak tahu jalan keluar lainnya. Kaum fasis membelokkan kekecewaan, kemarahan, dan kesengsaraan kaum borjuis kecil dari kapital besar ke para pekerja. Boleh dibilang bahwa fasisme adalah tindakan untuk menjadikan kaum borjuis kecil sebagai alat yang digunakan oleh musuhnya, yaitu kapitalis besar. Dengan cara ini, kaum pemilik modal besar meruntuhkan kelas-kelas menengah dan kemudian, dengan bantuan demagogi fasis bayaran, memprovokasi kaum borjuis kecil yang putus-asa untuk melawan para pekerja. Rezim kaum borjuis dapat dipertahankan hanya dengan metode-metode kejam seperti demikian. Untuk berapa lama? Sampai mereka digusur oleh revolusi proletar.
Kretin-kretin parlementer, yang menganggap dirinya sebagai ahli tentang masyarakat, seringkali berkata:
"Seseorang tidak boleh menakut-nakuti kelas menengah dengan revolusi. Mereka tidak suka ekstremitas".
Secara umum, penegasan di atas adalah salah sama sekali. Biasanya, pemilik usaha kecil memilih untuk tenang-tenang saja selama bisnis berjalan baik dan dia masih berharap bahwa masa depan akan menjadi lebih baik.
Tetapi ketika harapan ini hilang, dengan mudah dia akan marah dan siap untuk mengambil tindakan-tindakan yang paling ekstrem sekalipun. Jika tidak, bagaimana bisa mereka menjungkalkan negara demokratis dan membawa fasisme pada kekuasaan di Italia dan Jerman? Kaum borjuis kecil yang putus-asa melihat bahwa di dalam fasisme, yang terpenting dari semuanya, ada sebuah kekuatan penghancur dalam melawan modal besar, dan percaya bahwa, tak seperti partai-partai kelas pekerja yang hanya melawan melalui kata-kata saja, fasisme akan menggunakan kekerasan untuk membangun ‘keadilan’ yang lebih baik. Ditinjau dari kebiasaannya, petani dan artisan bersifat realistis. Mereka memahami bahwa seseorang tidak boleh melupakan penggunaan kekerasan.
Adalah salah, sangat salah, untuk menyatakan bahwa kaum borjuis kecil tidak berpihak pada partai-partai kelas pekerja karena mereka takut terhadap ‘tindakan-tindakan ekstrem’. Kenyataannya cukup bertolak belakang. Kaum borjuis kecil yang di bawah, dengan massanya yang besar, hanya melihat partai-partai kelas pekerja sebagai mesin-mesin parlementer. Kaum borjuis kecil tidak mempercayai kekuatan kaum proletar, kapasitas mereka untuk berjuang, dan juga kesiapan mereka pada saat ini untuk membawa perjuangan sampai ke titik akhir.
Dan jika keadaannya seperti itu, apakah berguna usaha-usaha untuk menggeser wakil-wakil kapitalis demokratis dengan wakil-wakil partai kiri di parlemen? Itulah yang dipikirkan dan dirasakan para tuan tanah kecil yang kecewa, dihancurkan, dan setengah tereksploitasi. Tanpa sebuah pemahaman akan psikologi para petani, artisan, para pekerja dan fungsionaris rendahan, dan lain-lain – sebuah psikologi yang datang dari krisis sosial – adalah tidak mungkin untuk membuat sebuah kebijakan yang tepat. Kaum borjuis kecil secara ekonomis tidak dapat berdiri sendiri dan secara politis terpecah-belah. Karena itulah mereka tidak mampu menjalankan sebuah kebijakan yang independen. Mereka butuh seorang ‘pemimpin’ yang memberikan mereka rasa percaya diri. Kepemimpinan individual atau kolektif ini, contohnya dari seorang figur yang terkenal atau sebuah partai, dapat ditawarkan kepada mereka oleh salah satu kelas fundamental – kaum borjuis besar ataupun proletar. Fasisme melepaskan dan mempersenjatai massa yang porak-poranda ini. Dari massa yang banyak itu, mereka mengorganisasir kelompok-kelompok tempur. Ini memberikan kaum borjuis kecil sebuah ilusi bahwa mereka adalah kekuatan yang independen. Mereka mulai membayangkan bahwa mereka benar-benar akan memerintah negara. Tidak mengherankan jika ilusi-ilusi dan harapan-harapan tersebut mampu menarik perhatian kaum borjuis kecil!
Akan tetapi, kaum borjuis kecil juga dapat menemukan seorang pemimpin dari kubu proletar. Hal ini dibuktikan di Rusia dan kurang lebih di Spanyol. Di Italia, Jerman, dan di Austria, kaum borjuis kecil sebenarnya tergiring ke arah yang sama. Tapi partai-partai proletar lokal di negara-negara tersebut tak mampu mengemban tugas sejarahnya.
Untuk menggiring kaum borjuis kecil ke pihaknya, kaum proletar harus memenangkan kepercayaan borjuis kecil. Dan untuk bisa melakukan hal tersebut, proletar harus mempunyai kepercayaan pada kekuatannya sendiri terlebih dahulu.
Mereka harus memiliki sebuah program aksi yang jelas dan harus siap untuk merebut kekuasaan dengan semua cara yang memungkinkan. Dipersiapkan oleh partai revolusioner untuk perjuangan yang menentukan dan tak kenal ampun, kaum proletar harus mengajak petani-petani dan borjuis kecil kota:
“Kami berjuang untuk merebut kekuasaan. Inilah program-program kami. Kami siap untuk mendiskusikan perubahan-perubahan dalam program kita. Kami akan menggunakan kekerasan hanya untuk kaum borjuis besar dan antek-anteknya, tetapi dengan anda sang pekerja keras, kami ingin membangun suatu aliansi dengan berdasar pada dasar-dasar program yang disetujui bersama”.
Kaum petani memahami bahasa seperti itu. Hanya saja mereka harus memiliki kepercayaan pada kapasitas proletariat untuk merebut kekuasaan.
Untuk itu diperlukan tindakan untuk membersihkan front persatuan dari semua pendistorsian, keragu-raguan, dan semua frase-frase kosong. Dibutuhkan juga pemahaman terhadap situasi dan penempatan diri pada jalan revolusi.
Untuk berjuang, adalah perlu untuk menjaga dan memperkuat alat-alat perjuangan – organisasi, pers, pertemuan, dan lain-lainnya. Fasisme [di Prancis] mengancam semua itu secara langsung dan tiba-tiba. Mereka masih terlalu lemah untuk melakukan perjuangan perebutan kekuasaan secara langsung, tetapi mereka cukup kuat untuk merontokkan organisasi-organisasi kelas pekerja sedikit demi sedikit, memperkuat serangan-serangan mereka, dan untuk menyebarkan kekecewaan serta ketidakpercayaan para pekerja pada kekuatan mereka sendiri..
Fasisme mendapatkan pertolongan dari mereka-mereka yang tidak sadar yang mengatakan bahwa "perjuangan fisik" adalah salah atau tak berpengharapan, serta menuntut Doumergue untuk melucuti senjata milisi fasisnya. Tak ada yang lebih berbahaya bagi kaum proletar, terutama untuk situasi saat ini, selain racun berasa gula dalam bentuk harapan-harapan yang palsu. Tak ada yang meningkatkan keangkuhan kaum fasis begitu banyak seperti halnya ‘pasifisme lembek’ dari organisasi-organisasi pekerja. Tak ada yang merusak kepercayaan kelas-kelas menengah terhadap kelas pekerja selain keragu-raguan, pasifitas dan tidak adanya keinginan untuk bertarung.
Le Populaire [Koran Partai Sosialis] dan terutama l'Humanite [Koran Partai Komunis] menulis setiap hari:
“Front persatuan adalah sebuah blokade dalam melawan fasisme...”;
“Front persatuan tidak akan membiarkan...”;
“Kaum fasis tidak akan berani”, dan sebagainya.
Kesemuanya adalah omong kosong. Perlu ditegaskan kepada para pekerja, kaum Sosialis, dan Komunis secara langsung: jangan biarkan dirimu dinina-bobokan oleh omong kosong para jurnalis dan orator-orator yang dangkal. Ini adalah masalah hidup dan mati kita dan masa depan sosialisme. Kita bukannya mengingkari pentingnya front persatuan. Kami sudah menuntut hal ini jauh-jauh hari ketika para pemimpin kedua partai masih menolaknya. Front persatuan membuka banyak sekali kemungkinan, tapi hanya sebatas itu. Front persatuan semacam itu, dalam dirinya sendiri, tak akan menentukan apapun. Perjuangan massa-lah yang menentukan. Front persatuan ini akan terlihat kegunaannya jika kelompok komunis dan kelompok sosial demokrat saling membantu ketika kelompok fasis menyerang Le Populaire atau l'Humanite. Tapi untuk itu, kelompok-kelompok tempur proletar haruslah dibentuk dan dididik, dilatih dan dipersenjatai. Tanpa adanya sebuah organisasi pertahanan, seperti halnya milisi pekerja, Le Populaire atau l'Humanite mungkin masih mampu menulis artikel sesuka mereka tentang kehebatan front persatuan, namun kedua koran tersebut akan segera menemui diri mereka sendiri tanpa pertahanan saat mereka menghadapi serangan pertama kaum fasis yang dipersiapkan dengan baik.
Kami ingin mempelajari dengan kritis ‘argumen-argumen’ dan ‘teori-teori’ dari mereka-mereka yang menentang dibentuknya milisi pekerja; mereka ini yang sangat banyak dan berpengaruh di dalam dua partai kelas pekerja.
Kita sering mendengar hal semacam ini: “Kita membutuhkan pertahanan-massa dan bukannya milisi”.
Tetapi apakah yang dimaksud dengan ‘pertahanan-massa’ tanpa adanya organisasi-organisasi tempur, tanpa kader-kader khusus, tanpa senjata? Menyerahkan tanggung jawab pertahanan dalam melawan fasisme pada massa yang tidak terorganisir dan tak dipersiapkan sama dengan memainkan peran yang lebih rendah dari Pontius Pilatus. Menyangkal peran dari milisi sama halnya dengan menafikkan peran kaum garda depan. Kalau begitu, apa gunanya sebuah partai? Tanpa dukungan dari massa, milisi tak akan berarti sama sekali. Tapi, tanpa kelompok-kelompok tempur yang terorganisir, massa yang paling heroikpun akan diluluhlantakkan oleh geng-geng fasis. Adalah omong kosong untuk mengkontradiksikan antara milisi dengan pertahanan. Milisi adalah sebuah organ pertahanan.
“Untuk membentuk organisasi milisi,” tukas para penentang yang, tentu saja, tidak serius dan jujur, “sama dengan melibatkan diri dalam provokasi.”
Ini bukanlah sebuah argumen, tetapi sebuah penghinaan. Jika kebutuhan akan pertahanan dalam organisasi-organisasi pekerja datang dari situasi, bagaimana bisa seseorang tidak menyerukan pembentukan sebuah milisi? Mungkin mereka bermaksud untuk mengatakan bahwa pembentukan sebuah milisi ‘memprovokasi’ serangan dari kaum fasis dan represi pemerintah. Kalau yang dimaksud demikian, ini merupakan argumen yang benar-benar reaksioner. Liberalisme selalu mengatakan kepada para pekerja bahwa dengan perjuangan kelasnya mereka memprovokasi sebuah reaksi.
Kaum reformis kerap mengulang tuduhan ini terhadap kaum Marxis, kaum Menshevik terhadap kaum Bolshevik. Tuduhan semacam ini adalah berdasarkan suatu pemikiran jika kaum tertindas tidak melawan, maka kaum penguasa tidak akan memukul mereka. Ini adalah filosofi dari Tolstoy dan Gandhi, tapi bukanlah filosofinya Marx dan Lenin. Jika l'Humanite ingin membangun doktrin "jangan melawan kejahatan dengan kekerasan", mereka seharusnya tidak menggunakan palu dan arit atau emblem Revolusi Oktober sebagai simbolnya, sebaiknya mereka menggunakan simbol kambing suci yang menyediakan susu kepada Gandhi.
“Tetapi mempersenjatai para pekerja hanyalah cocok dalam sebuah situasi yang revolusioner, yang belum datang saat ini.”
Argumen yang bijaksana ini sama saja dengan mempersilakan kaum pekerja untuk dibantai sampai situasi menjadi revolusioner. Mereka yang kemarin mengkhotbahkan tentang ‘periode ketiga’ tidak ingin melihat apa yang sedang terjadi di depan mata mereka. Masalah tentang mempersenjatai diri terdorong ke depan sebab situasi ‘demokratis’, ‘normal’ dan ‘damai’ telah memberikan jalan bagi situasi yang ‘tak stabil’, ‘kritis’, dan ‘kacau’ yang dapat mentransformasikan dirinya ke dalam situasi yang revolusioner, bahkan juga kontra revolusioner.
[Catatan: "Periode Ketiga": berdasarkan skema kaum Stalinis, periode ini adalah ‘periode terakhir kapitalisme’, periode kematiannya yang segera datang dan penggeserannya oleh soviet. Periode ini dianggap penting oleh komunis ultra-kiri dan taktik-taktik adventuris, khususnya konsep sosial fasisme.]
Alternatif dari situasi ini tergantung terutama pada: apakah pekerja yang berpandangan maju akan membiarkan dirinya diserang tanpa ampun dan dikalahkan sedikit demi sedikit atau membalas setiap pukulan dengan dua pukulan, meningkatkan keberanian kaum tertindas dan menyatukan mereka dalam panji-panji mereka. Sebuah situasi yang revolusioner tidaklah jatuh dari langit. Situasi ini mengambil bentuknya melalui partisipasi aktif kelas revolusioner dan partainya.
Sekarang kaum Stalinis Prancis berargumen bahwa milisi buruh tidaklah melindungi kaum proletar Jerman dari kekalahannya. Padahal baru kemarin mereka menyangkal kekalahan mereka di Jerman dan menegaskan bahwa kebijakan kaum Stalinis Jerman adalah benar dari awal sampai akhir. Sekarang mereka membebankan semua kesalahan pada milisi pekerja Jerman (Rote Front) [Front Tempur Merah: milisi yang didominasi kaum Komunis yang dilarang oleh pemerintahan Sosial Demokrasi setelah kerusuhan May Day Berlin, pada tahun 1929]. Dari satu kesalahan, mereka terjatuh ke dalam sebuah kesalahan lainnya yang berlawanan secara diametris, yang tak kalah mengerikannya. Milisi, dalam dirinya sendiri, tidaklah menyelesaikan permasalahan. Sebuah kebijakan yang tepat dibutuhkan. Sementara itu, kebijakan Stalinisme di Jerman ("sosial fasisme adalah musuh utama"), perpecahan dalam organisasi-organisasi buruh, percumbuan dengan nasionalisme, putschisme, menyebabkan secara fatal terisolasinya garda depan proletar dan keruntuhannya. Dengan strategi yang benar-benar keliru, tak akan ada milisi yang bisa menyelamatkan situasi.
Omong kosong jika, dalam dirinya sendiri, organisasi milisi akan terjerumus dalam adventurisme, memprovokasi musuh, menggeser perjuangan politik menjadi perjuangan fisik, dan lain sebagainya. Semua omongan ini tak lebih dari sebuah kepengecutan politik belaka.
Barisan milisi, sebagai organisasi garda depan yang kuat, terbukti merupakan pertahanan yang paling pasti dalam melawan petualang-petualang politik, melawan terorisme individu, melawan ledakan-ledakan spontan yang berdarah.
Pada waktu yang sama, barisan milisi merupakan satu-satunya cara yang serius untuk mencegah terjadinya perang sipil yang dipaksakan oleh kubu fasis kepada kaum proletar. Biarkanlah para pekerja, lepas dari tidak adanya sebuah ‘situasi revolusioner’, meluruskan ‘patriot-patriot anak mama’ dengan cara mereka sendiri, dan niscaya rekrutmen kelompok-kelompok fasis baru akan menjadi lebih sulit.
Tapi para ahli strategi, dibingungkan dengan cara pikirnya sendiri, menyangkal kami dengan argumen-argumen yang lebih bodoh. Kami mengutipnya secara tekstual:
“Jika kita merespon tembakan revolver kaum fasis dengan tembakan revolver yang lain," tulis L'Humanite pada tanggal 23 Oktober [1934], “Kita melupakan fakta bahwa fasisme adalah produk dari rezim kapitalis dan bahwa dalam perang melawan fasisme kita menghadapi keseluruhan sistem."
Tak ada kalimat-kalimat yang lebih membingungkan dan salah daripada kalimat-kalimat di atas. Adalah tidak mungkin untuk membela diri atas serangan kaum fasis sebab mereka adalah ‘sebuah produk dari rezim kapitalis’. Ini berarti kita harus membatalkan semua perjuangan, karena semua kejahatan sosial dewasa ini adalah ‘produk-produk dari sistem kapitalisme’.
Ketika kaum fasis membunuh seorang revolusioner, atau membakar habis gedung koran proletar, para pekerja diharapkan untuk mengeluh secara filosofis: ‘Pembunuhan dan pembakaran tersebut adalah produk-produk dari sistem kapitalis’, dan pulang dengan hati yang tenang. Sikap fatalisme menggantikan teori militan Marx demi keuntungan musuh kelas kita. Keruntuhan kaum borjuis kecil adalah, tentu saja, produk dari sistem kapitalisme. Pertumbuhan kelompok-kelompok fasis juga, sebagai konsekwensinya, adalah produk dari kehancuran kaum borjuis kecil. Tapi di pihak lain, peningkatan penderitaan dan perlawanan kaum proletar juga merupakan produk-produk dari kapitalisme, dan milisi pekerja, pada gilirannya, adalah produk dari makin tajamnya perjuangan kelas. Lalu kenapa, bagi kaum ‘Marxis’ l'Humanite, kelompok-kelompok fasis adalah produk yang sah dari kapitalisme dan milisi pekerja adalah produk yang tidak sah dari – kaum Trotskyis? Sulit untuk memahami ujung atau pangkal dari pernyataan ini.
“Kita harus menghadapi seluruh sistem kapitalisme ” demikian kita sering diberitahu.
Bagaimana caranya? Di awang-awang? Kaum fasis di negara-negara yang berbeda memulainya dengan menggunakan revolver dan mengakhirinya dengan menghancurkan seluruh 'sistem' organisasi-organisasi pekerja. Bagaimanakah kita bisa menghadapi serangan bersenjata musuh jika tidak dengan pertahanan bersenjata untuk, pada gilirannya, balas menyerang?
l'Humanite sekarang mengakui pentingnya pertahanan di dalam tulisan-tulisan mereka, tetapi hanya dalam bentuk ‘pertahanan diri massa’. Milisi bersifat merugikan karena, seperti anda lihat, mereka memisahkan kelompok tempur dari massa. Tetapi kenapa terdapat detasemen-detasemen bersenjata independen diantara kaum fasis yang tidak terpisah dari massa reaksionernya, yang sebaliknya meningkatkan keberanian dan kepercayaan massa tersebut dengan serangan-serangan mereka yang tersusun rapi? Atau mungkin massa pekerja lebih rendah kualitasnya dalam pertempuran dibandingkan dengan kaum borjuis kecil?
Terjerat dalam kebingungan, l'Humanite akhirnya mulai ragu-ragu dengan pendapatnya sendiri: tampaknya pertahanan diri massa membutuhkan pembentukan ‘kelompok pertahanan diri’ khusus. Kelompok-kelompok dan detasemen-detasemen khusus diajukan untuk menggantikan konsep milisi yang ditolak. Pada awalnya seolah-olah perbedaan yang ada hanya menyangkut soal nama. Tak bisa disangkal, nama yang diajukan oleh L'Humanite tidak berarti apapun. Seseorang bisa mengajukan konsep ‘pertahanan diri massa’, tetapi tidak mungkin mengajukan konsep ‘kelompok pertahanan diri’ sebab tujuan dari kelompok tersebut bukanlah untuk membela dirinya sendiri tapi untuk membela organisasi-organisasi pekerja. Tetapi, tentu saja ini bukan soal nama belaka. “Kelompok pertahanan diri”, menurut l'Humanite, harus menolak penggunaan senjata demi menghindari jatuhnya mereka ke dalam “putschisme”. Orang-orang bijaksana ini memperlakukan kelas pekerja tak ubahnya seperti bayi yang harus dilarang memegang pisau di tangannya. Selain itu, seperti kita ketahui bersama, pisau adalah monopoli dari Camelots du Roi [kaum monarkis Prancis yang bergabung dengan koran Charles Maurras, Action Francaise, yang merupakan kubu anti demokratik dan seringkali menggunakan kekerasan], yang merupakan ‘produk sah dari kapitalisme’ dan, dengan bantuan pisau, telah menjungkalkan ‘sistem’ demokrasi. Lalu bagaimana ‘kelompok pertahanan diri’ ini dapat membela dirinya dalam melawan revolvernya kaum fasis? “Secara ideologis,” tentu saja. Dengan kata lain: mereka bisa bersembunyi. Tanpa memiliki apa yang mereka butuhkan di tangan mereka, mereka harus mencari "pertahanan diri" di kaki mereka. Dan sementara itu, kaum fasis menghancurkan organisasi-organisasi pekerja tanpa perlawanan sama sekali. Tetapi jika kaum proletar menderita kekalahan yang hebat, setidaknya mereka tidak jatuh ke dalam ‘putschisme’. Para pembual ini, yang berlindung dibawah panji-panji ‘Bolshevisme’, hanya menimbulkan kemuakan dan kebencian saja.
Selama ‘periode ketiga’ yang indah – saat ahli-ahli strategi l'Humanite terserang halusinasi, ‘menguasai’ jalan-jalan setiap hari dan mengutuk semua orang yang tidak bergabung dengan keekstravaganzaan mereka sebagai kaum ‘sosial fasis’ – kami sudah memprediksikan: “Pada momen dimana tuan-tuan ini terbakar ujung-ujung jarinya, mereka akan menjadi kaum oportunis terburuk yang pernah ada.” Prediksi ini sekarang telah digenapi sepenuhnya. Pada saat dimana persetujuan tentang pembentukan milisi semakin tumbuh dan menguat di dalam gerakan partai Sosialis, para pemimpin dari apa yang disebut sebagai partai Komunis ini lari ke pipa air untuk mendinginkan keinginan pekerja maju untuk mengorganisir dirinya dalam barisan-barisan tempur. Dapatkah seseorang membayangkan perbuatan yang lebih celaka dan terkutuk dari tindakan ini?
Dalam Partai Sosialis sesekali keberatan semacam ini juga terdengar dari anggota-anggota partai: “Sebuah milisi memang harus dibentuk tapi tidak ada gunanya untuk mengumumkan secara terbuka tentang hal ini.”
Seseorang bisa menghargai kawan yang berharap untuk melindungi bagian praksis masalah dari mata dan telinga yang tidak berkepentingan. Tapi menjadi terlalu naif untuk berfikir bahwa sebuah milisi bisa diciptakan tanpa terlihat dan secara rahasia di dalam kungkungan empat tembok. Kita membutuhkan puluhan, dan selanjutnya ratusan, bahkan ribuan petarung. Ini bisa terwujud jika jutaan pekerja wanita dan pria, dengan para petani dibelakangnya, memahami kebutuhan akan milisi dan menciptakan di sekeliling sukarelawan tersebut sebuah atmosfer simpati yang menggairahkan dan juga dukungan-dukungan aktif. Kerahasiaan dapat dan harus hanya menyangkut aspek-aspek teknis pembentukan milisi. Namun kampanye politis harus dikembangkan secara terbuka, dalam pertemuan-pertemuan, di pabrik-pabrik, di jalan-jalan dan pada tempat-tempat berkumpulnya massa.
Kader-kader fundamental milisi haruslah terdiri dari pekerja-pekerja pabrik yang dikelompokkan menurut tempat kerja mereka, saling tahu satu sama lain dan mampu melindungi detasemen tempur mereka dari provokasi agen-agen musuh dengan lebih baik dan pasti dibandingkan birokrat-birokrat yang paling tinggi. Pekerjaan-pekerjaan konspiratif, tanpa mobilisasi terbuka massa, akan mengambang tanpa mampu berbuat apa-apa pada saat bahaya datang. Setiap organisasi pekerja harus menceburkan diri dalam pekerjaan ini. Untuk masalah ini, tidak boleh ada garis demarkasi antara partai pekerja dan organisasi-organisasi buruh. Bersama-sama mereka harus memobilisasi massa. Dengan cara ini, kesuksesan milisi rakyat akan terjamin penuh.
“Tapi darimanakah para pekerja akan mendapatkan senjatanya” sanggah sang ‘realis’ yang bijak — atau kaum filistin penakut – “musuh memiliki senapan, meriam, tank, gas, dan pesawat udara. Para pekerja cuma memiliki ratusan revolver dan pisau saku.”
Keberatan semacam ini diangkat untuk menakuti para pekerja. Di satu pihak, mereka menyamakan senjata kaum fasis dengan senjata negara. Tapi di pihak lain, mereka menoleh kepada negara dan menuntut negara untuk melucuti senjata kaum fasis. Logika yang luar biasa! Pada kenyataannya, kedua posisi mereka sama-sama salah. Di Prancis, kaum fasis masih jauh dari mengontrol negara. Pada tanggal 6 Februari, mereka memasuki konflik bersenjata dengan polisi negara. Karena itulah adalah salah untuk berbicara mengenai meriam dan tank saat masalahnya adalah perjuangan bersenjata yang mendesak untuk melawan kaum fasis. Kaum fasis tentu saja lebih kaya dibandingkan dengan kita. Lebih mudah bagi mereka untuk membeli senjata. Tetapi para pekerja jumlahnya jauh lebih banyak, lebih pandai, dan lebih setia, saat mereka sadar akan sebuah kepemimpinan revolusioner yang tegas.
Sebagai tambahan dari sumber lain, para pekerja juga dapat mempersenjati diri mereka dengan melucuti senjata kaum fasis.
Ini merupakan salah satu bentuk perjuangan yang penting dalam melawan kaum fasis. Saat gudang senjata para pekerja semakin penuh dengan senjata dari depo-depo kaum fasis, bank-bank dan trust-trust akan berlaku lebih hati-hati dalam membiayai persenjataan penjaga-penjaga mereka yang kejam. Adalah mungkin juga, otoritas-otoritas yang khawatir akan mulai mencegah mempersenjatai kaum fasis agar tidak memberikan sumber-sumber tambahan senjata bagi para pekerja. Kita telah lama mengetahui bahwa hanya taktik revolusioner yang dapat menghasilkan, sebagai efek samping, ‘perubahan-perubahan’ atau konsesi-konsesi dari pemerintah.
Tapi bagaimana caranya melucuti kaum fasis? Secara alami, tidak mungkin untuk melakukannya dengan artikel-artikel koran saja. Skuadron tempur harus dibentuk. Badan intelijen harus dibangun. Ribuan informan dan pembantu-pembantu yang baik dari seluruh penjuru akan membantu secara sukarela saat mereka menyadari bahwa masalah ini sudah ditangani secara serius oleh kita. Ini membutuhkan sebuah kehendak untuk aksi pekerja.
Tetapi senjata-senjata kaum fasis tentu saja bukanlah satu-satunya sumber yang ada. Di Prancis, terdapat lebih dari satu juta pekerja yang terorganisir. Secara umum, jumlah ini termasuk kecil. Tapi ini benar-benar cukup untuk dijadikan permulaan dalam mengorganisir milisi pekerja. Jika partai-partai dan serikat-serikat buruh hanya mempersenjatai 1/10 dari anggotanya, itu sudah akan menjadi sebuah kekuatan yang berjumlah 100,000 orang. Tak dapat diragukan bahwa dengan seruan "front persatuan", jumlah sukarelawan yang akan maju ke depan untuk bergabung dalam milisi pekerja akan jauh melebihi jumlah itu. Kontribusi partai-partai dan serikat-serikat buruh, sumbangan-sumbangan sukarela, akan dalam tempo satu atau dua bulan mampu menjamin persenjataan dari 100,000 sampai 200,000 prajurit-prajurit kelas buruh. Massa fasis akan tenggelam dalam rasa takut. Seluruh perspektif perkembangan situasi akan menjadi lebih menjanjikan.
Menjadikan ketiadaan senjata atau alasan-alasan obyektif lain untuk menjelaskan kenapa tidak ada usaha pembentukan sebuah milisi sampai sekarang adalah usaha untuk membodohi diri sendiri dan orang lain. Halangan prinsipil – bisa dikatakan halangan satu-satunya – berakar pada karakter konservatif dan pasif para pemimpin organisasi-organisasi pekerja tersebut. Para pemimpin yang skeptis itu tidak mempercayai kekuatan kaum proletar. Mereka menaruh harapan mereka pada mukjizat-mukjizat dari atas dibandingkan memberikan wadah revolusioner bagi energi-energi yang berdenyut dari bawah. Kaum buruh sosialis harus memaksa pemimpin mereka untuk membentuk milisi pekerja secepatnya, kalau tidak pemimpin-pemimpin ini harus memberikan jalan kepada kekuatan-kekuatan yang lebih segar dan muda.
Sebuah pemogokan tidak bisa kita bayangkan jadinya tanpa propaganda dan agitasi. Juga tak bisa dibayangkan jika aksi massa diadakan tanpa penjagaan satuan pengamanan dari serikat pekerja (penjaga piket) yang, saat mereka mampu, menggunakan persuasi, tapi jika perlu, menggunakan paksaan. Pemogokan adalah bentuk paling mendasar dari perjuangan kelas yang selalu menggabungkan, dalam proporsi yang bervariasi, metode-metode ‘ideologis’ dengan metode-metode fisik. Perjuangan melawan fasisme secara mendasar merupakan perjuangan politis yang membutuhkan sebuah milisi seperti halnya aksi massa membutuhkan satuan pengamanan serikat pekerja (penjaga piket). Pada dasarnya, satuan penjaga piket itulah embrio dari lahirnya milisi pekerja. Seseorang yang mencoba menolak perjuangan fisik harus menolak seluruh bentuk perjuangan, karena roh tak bisa hidup tanpa daging.
Mengikuti pandangan dari teoritikus militer terkemuka Clausewitz, perang adalah kelanjutan dari pertarungan politik dengan metode yang lain. Definisi ini sesuai sepenuhnya dengan perang sipil. Adalah keliru untuk membedakan perjuangan politik dan perjuangan bersenjata. Ketika perjuangan politik, oleh sebab desakan kebutuhan internal, mentransformasikan dirinya ke dalam perjuangan bersenjata, kita tak mungkin bisa mencegahnya.
Tugas partai revolusioner adalah untuk memprediksikan waktu di mana kita tak bisa lagi menolak transformasi politik ke dalam konflik bersenjata secara terbuka, dan dengan seluruh kekuatan yang ada mempersiapkan diri untuk momen itu, seperti halnya yang dilakukan oleh kelas penguasa.
Detasemen-detasemen milisi pertahanan dalam melawan fasisme adalah langkah pertama dalam mempersenjatai kaum proletar, dan bukannya langkah terakhir. Slogan kita adalah:
“Persenjatai proletar dan petani-petani revolusioner!”
Milisi pekerja harus, pada analisa akhir, merangkul semua pekerja. Program ini hanya bisa dipenuhi di dalam negara pekerja yang menguasai semua alat produksi dan tentunya alat-alat pemusnah – antara lain, semua senjata beserta perusahaan-perusahaan yang memproduksinya.
Tapi, tidak mungkin kita membentuk negara para pekerja dengan tangan kosong. Hanya politisi-politisi tidak berguna macam Renaudel yang dapat berbicara mengenai jalan konstitusional dan damai menuju sosialisme. Jalan konstitusional telah terpotong-potong oleh parit-parit yang dibikin oleh kelompok fasis. Banyak parit-parit menghadang di depan kita. Kaum borjuis tak akan ragu-ragu untuk mengambil jalan kudeta dengan bantuan polisi dan militer demi mencegah kaum proletar menuju kekuasaan.
[Catatan: Pierre Renaudel (1871-1935): sebelum Perang Dunia I, seorang tangan kanan pemimpin sosialis Jean Jaures dan editor dari l'Humanite. Selama perang, dia merupakan patriot sayap kanan. Pada dekade 30-an, dia dan Marcel Deat memimpin kaum revisionis yang bertendensi "neo-sosialis". Dikalahkan dalam konvensi Juli 1933, tendensi ini pecah dari partai Sosialis. Sesudah kerusuhan fasis pada 6 Februari 1934, kebanyakan dari kaum "neo" ini bergabung dengan partai Radikal, partai utama dalam kapitalisme Prancis.]
Sebuah negara sosialis para pekerja hanya bisa diwujudkan melalui kemenangan sebuah revolusi.
Setiap revolusi dipersiapkan melalui perkembangan ekonomi dan politik, tapi selalu ditentukan oleh konflik bersenjata secara terbuka diantara kelas-kelas yang saling bertentangan. Sebuah kemenangan revolusioner hanya dapat menjadi kenyataan sebagai hasil agitasi politik yang berkepanjangan, periode pendidikan dan organisasi massa yang berkepanjangan.
Konflik bersenjata sendiri juga harus dipersiapkan jauh sebelumnya. Pekerja-pekerja yang perpandangan maju harus tahu bahwa mereka harus bertempur dan memenangkan sebuah perjuangan sampai mati. Mereka harus mempersenjatai diri mereka, sebagai jaminan emansipasi mereka.
Keterbelakangan kelas pekerja di Amerika Serikat hanyalah bersifat relatif. Dalam banyak sisi, mereka adalah kelas pekerja yang paling progresif di dunia, baik secara teknis dan dalam standar kehidupannya...
Pekerja-pekerja Amerika sangat siap tempur – seperti yang kita telah lihat selama pemogokan-pemogokan mereka. Mereka sudah melakukan pemogokan yang paling hebat di dunia. Apa yang kurang dari pekerja Amerika adalah semangat generalisasi, atau analisis, terhadap posisi kelasnya dalam masyarakat secara menyeluruh. Kekurangan dalam pemikiran sosial ini berakar pada sejarah negara tersebut...
Tentang fasisme.
Di semua negara dimana fasisme menang, sebelum pertumbuhan fasisme dan kemenangannya kita mengalami sebuah gelombang radikalisasi massa – pekerja dan petani miskin, dan kelas borjuis kecil. Di Italia, sesudah perang dan sebelum 1922, kita memiliki gelombang revolusioner yang luar biasa; negara menjadi lumpuh, polisi tak lagi eksis, serikat-serikat pekerja dapat melakukan segala sesuatu yang mereka inginkan – tapi tidak ada partai yang mampu untuk merebut kekuasaan. Maka sebagai sebuah reaksi datanglah fasisme.
Di Jerman, hal yang sama terjadi. Kita memiliki sebuah situasi revolusioner pada tahun 1918; kelas borjuis bahkan tidak meminta untuk berpartisipasi dalam kekuasaan. Kaum sosial demokrat melumpuhkan revolusi saat itu. Sesudah itu para pekerja mencoba lagi pada tahun 1922-23-24. Tapi tahun-tahun itu adalah tahun kebangkrutan partai Komunis – yang telah kita kemukan di atas. Dan pada tahun 1929-30-31, kalangan pekerja Jerman memulai lagi sebuah gelombang revolusioner baru. Terdapat kekuatan yang luar biasa pada kelompok komunis dan serikat-serikat pekerja, namun sesudah itu keluarlah kebijakan yang terkenal (sebagai bagian dari gerakan Stalinis) mengenai sosial fasisme, sebuah kebijakan yang dikeluarkan guna melumpuhkan kelas pekerja. Hanya sesudah tiga gelombang besar inilah fasisme menjadi gerakan yang masif. Tidak ada pengecualian di dalam hukum ini – fasisme datang hanya saat kelas pekerja tidak mampu merebut nasib masyarakat ke dalam tangannya.
Di Amerika Serikat kita mengalami hal yang sama. Saat ini sudah terdapat elemen-elemen fasis, dan, tentu saja, mereka telah mendapatkan model-model untuk gerakan mereka dari fasisme Italia dan Jerman. Oleh karenanya mereka akan berkembang dalam tempo yang lebih cepat. Tapi kita juga memiliki model-model dari negara-negara lain. Gelombang sejarah selanjutnya di Amerika Serikat akan merupakan gelombang radikalisme massa, dan bukannya fasisme. Tentu saja, perang dapat menghambat radikalisasi untuk beberapa waktu, tapi selanjutnya perang akan memberikan radikalisasi tersebut sebuah tempo dan peralihan-peralihan yang jauh lebih dahsyat.
Kita tidak boleh mengidentifikasi kediktatoran perang – kediktatoran mesin-mesin militer, pejabat-pejabat militer, kapital keuangan – sebagai kediktaturan fasis. Untuk kediktaturan fasis, pertama kali yang disyaratkan adalah terdapatnya perasaan putus asa dari massa yang besar di dalam masyarakat. Saat partai-partai revolusioner mengkhianati mereka, saat garda depan kaum pekerja menunjukkan ketidakmampuannya untuk memimpin rakyat menuju kemenangan, maka para petani, usahawan kecil, pengangguran, prajurit, dan lain-lain akan mampu mendukung gerakan fasis, tapi, sekali lagi, hanya jika pengkhianatan itu terjadi.
Sebuah kediktatoran militer merupakan institusi birokratis, yang dipaksakan oleh mesin militer dan berdasarkan pada disorientasi masyarakat dan kepatuhan mereka terhadapnya. Beberapa waktu sesudahnya perasaan mereka dapat berubah dan mereka bisa memberontak melawan kediktatoran tersebut.
Pada setiap diskusi politik, pertanyaan yang selalu muncul adalah: bisakah kita membentuk sebuah partai yang kuat pada masa krisis? Tidakkah kekuatan fasis akan mengantisipasi tindakan kita? Bukankah sebuah tahap perkembangan fasis adalah tidak terelakan?
Kesuksesan fasisme dapat dengan mudahnya membuat orang-orang kehilangan semua perspektif, menggiring mereka untuk melupakan kondisi-kondisi faktual yang telah memungkinkan penguatan dan kemenangan fasisme. Akan tetapi, pemahaman yang jelas menyangkut kondisi-kondisi seperti ini sangatlah penting bagi kaum buruh Amerika Serikat. Kita dapat menjadikannya sebagai sebuah hukum historis: fasisme hanya mampu menang di negara-negara dimana partai-partai buruh konservatifnya mencegah kaum proletar untuk menggunakan situasi revolusioner dan merebut kekuasaan. Di Jerman kita bisa menemui adanya dua situasi revolusioner seperti yang dimaksud: 1918-1919 dan 1923-1924. Bahkan di tahun 1929, sebenarnya perjuangan merebut kekuasaan oleh kaum proletariat masihlah dimungkinkan. Pada tiga kasus ini, kaum sosial demokrasi dan Komintern (Stalinis) secara keji menggagalkan perebutan kekuasaan, dan karenanya menempatkan masyarakat dalam sebuah kebuntuan. Hanya di bawah dan di dalam kondisi-kondisi seperti ini kebangkitan fasisme dan kemenangannya dalam perebutan kekuasaan dimungkinkan terjadi.
Selama kekuatan proletariat terbukti tidak mampu, pada sebuah tahap tertentu, untuk meraih kekuasaan, imperialisme akan mulai menjalankan kehidupan ekonomi dengan metode yang dimilikinya; partai fasis yang meraih kekuasaan negara adalah mekanisme politiknya. Kekuatan produksi berada dalam kontradiksi yang luar biasa tidak hanya dengan kepemilikan-kepemilikan pribadi tetapi juga dengan batasan-batasan negara. Imperialisme merupakan ekspresi dari kontradiksi tersebut. Kapitalisme imperialis mencoba untuk menyelesaikan kontradiksi ini melalui suatu usaha perluasan batasan-batasan negara, perebutan wilayah-wilayah baru, dan sebagainya. Negara totalitarian, dengan menafikkan segala aspek-aspek ekonomis, politis, dan kehidupan budaya demi kapital keuangan, merupakan instrumen untuk menciptakan sebuah negara supernasionalis, kekaisaran imperialis, penguasa benua-benua, bahkan penguasa seluruh dunia.
Semua karakter-karakter kebebasan yang sudah kita telah analisa, baik satu persatu maupun seluruhnya dalam totalitas mereka, telah menjadi semakin jelas atau mengemuka.
Baik analisa teoritis maupun juga pengalaman sejarah yang kaya pada seperempat abad terakhir ini telah menunjukkan secara berimbang bahwa fasisme adalah mata rantai terakhir dari rangkaian politik tertentu yang dibentuk antara lain oleh: krisis terparah dalam masyarakat kapitalis; perkembangan radikalisasi kelas pekerja; meningkatnya simpati terhadap kelas pekerja, keinginan akan perubahan pada pihak borjuis kecil pertanian dan urban; kebingungan luar biasa kaum borjuis, manuver licik kaum borjuis yang ditujukan demi menghindari klimaks revolusi; kelelahan dari kaum proletariat; bertambahnya kebingungan dan kemasabodohan; bertambah buruknya krisis sosial; penderitaan yang dialami borjuis kecil, keinginannya akan sebuah perubahan; kegilaan kolektif kaum borjuis kecil, kesiapannya dalam mempercayai mukjizat, kesiapannya dalam mengambil tindakan kekerasan; perkembangan perlawanan terhadap proletariat, yang telah menipu harapan kaum borjusi kecil. Kesemuanya adalah premis-premis dalam pembentukan partai fasis secara cepat beserta kemenangannya.
Terbukti dengan sendirinya bahwa radikalisasi kelas pekerja di Amerika Serikat barulah melewati fase-fase awal saja, cenderung hanya dalam lingkup gerakan buruh. Periode sebelum perang dan kemudian periode perang itu sendiri, dapat menginterupsi proses radikalisasi ini secara sementara, khususnya saat sejumlah besar pekerja terserap ke dalam industri perang. Tetapi interupsi dalam proses radikalisasi ini tidaklah bisa berlangsung dalam waktu yang lama. Tahap kedua dalam radikalisasi ini akan mengambil karakter yang benar-benar lebih tajam ekspresinya. Masalah pembentukan partai buruh yang independen akan terdorong ke depan. Tuntutan transisional kita akan meraih popularitas yang luar biasa. Di pihak lain, kaum fasis, tendensi-tendensi reaksioner akan menarik diri ke belakang, mengambil langkah defensif, sembari menunggu momen yang lebih tepat. Ini adalah perspektif yang paling dekat dengan kenyataan. Tak ada pekerjaaan yang lebih tak berharga daripada memikirkan apakah kita bisa berhasil membangun sebuah partai pelopor revolusioner yang kuat atau tidak. Di depan kita terbentang sebuah perspektif yang menguntungkan, yang menyediakan semua pembenaran terhadap aktivisme revolusioner. Adalah perlu untuk menggunakan kesempatan-kesempatan yang terbuka dan membangun partai revolusioner.