MIA > Bahasa Indonesia > Karya Marxis > Trotsky
Sumber: Natalia Sedova Internet Archive
Penerjemah: Ted Sprague (28 Agustus 2010). Diterjemahkan dari “How It Happened ”, Natalia Sedova
(Selasa, 20 Agustus, 1940, jam 7 di pagi hari)
“Kau tahu, aku merasa baik pagi hari ini; sudah lama semenjak terakhir kali aku merasa begitu baik ... Kemarin malam aku menelan dua dosis obat tidur. Aku merasa obat itu bekerja baik untukku.”
“Ya. Aku ingat bahwa kita menyaksikan ini di Norwegia ketika kau biasanya merasa keletihan jauh lebih sering ... Tetapi bukan obat ini yang membuat kau merasa baik, tidur nyenyak yang membuatmu merasa lebih baik, istirahat penuh.”
“Ya, benar itu.”
Ketika dia membuka di pagi hari atau menutup di malam hari pelindung besi besar yang dibangun di tempat tidur kami oleh kawan-kawan kami setelah serangan 24 Mei di rumah kami, L.D. kadang-kadang berujar: “Nah, sekarang Siqueiros tidak akan bisa menyerang kita.” Dan bangun pagi dia akan menyambut aku dan dirinya sendiri dengan berkata, “Kau lihat, mereka tidak membunuh kita kemarin malam, dan masih kau tidak merasa puas.” Aku membela diriku sebisa mungkin ... Satu kali, setelah “sambutan” seperti itu, dia menambahkan dengan serius. “Ya, Natasha, kita telah mendapat penundaan.”
Sejauh tahun 1928, ketika kami diasingkan ke Alma-Ata, dimana tempat yang asing itu menunggu kami, kami bercakap di satu malam di dalam kamar kereta yang membawa kami ke tempat pengasingan ... Kami tak dapat tidur, setelah kekacauan minggu-minggu terakhir, dan terutama hari-hari terakhir di Moskow. Kendati keletihan kami yang teramat besar, ketegangan yang mencemaskan tetap kami rasakan. Aku ingat Lev Davidovich mengatakan kepada aku pada saat itu: “lebih baik begini (diasingkan). Aku tidak ingin mati di atas tempat tidur di Kremlin.”
Tetapi pagi ini dia jauh dari semua pikiran macam itu. Kesegaran jasmani membuat dia menantikan satu hari kerja yang “sangat baik”. Dengan penuh semangat dia berjalan ke halaman untuk memberi makan kelinci-kelincinya, setelah melakukan toilet paginya dengan mulus dan berpakaian sama cepatnya. Ketika kesehatannya sedang buruk, memberi makan kelinci meletihkan dia; tetapi dia tidak dapat meninggalkan tugas ini, karena dia merasa kasihan pada binatang-binatang kecil ini. Sulit baginya untuk melakukan ini walaupun dia ingin, seperti halnya kebiasaannya secara keseluruhan. Lagipula, dia harus selalu waspada; tenaganya harus disimpan untuk kerja yang lain yang berbeda – kerja di atas mejanya. Merawat binatang-binatang ini, membersihkan kandang mereka, dsb., memberikan dia, di satu pihak, waktu rileks dan pengalihan perhatian, tetapi di pihak lain ini meletihkan badannya secara fisik; dan ini pada gilirannya terrefleksi pada kemampuannya untuk bekerja. Dia selalu bersemangat dengan apapun yang dia lakukan.
Aku ingat pada tahun 1933 ketika kami berangkat dari Prinkipo ke Prancis, dimana kami tinggal di sebuah vila terpencil tidak jauh dari Royan, di pinggir pantai laut Atlantik. Anak kami [Lev Sedov] bersama dengan kawan-kawan kami telah mengatur vila ini, yang dinamakan “Semprotan Laut”. Ombak dari laut yang bergejolak membanting dirinya dekat taman kami, dan semprotan garam terbang masuk melalui jendela-jendela yang berbuka. Dikelilingi teman-teman kami, kami hidup di bawah kondisi semi-legal. Kadang-kadang akan ada sebanyak dua puluh orang bersama kami. Delapan atau sembilan tinggal di situ. Karena situasi kami, mustahil untuk memanggil seorang pembantu rumah tangga atau seseorang untuk membantu di dapur. Seluruh beban jatuh pada Jeanne, istri anak kami, dan Vera Molinier, dan aku juga membantu. Kamerad-kamerad yang muda mencuci piring. Lev Davidovich, juga, ingin membantu dengan pekerjaan rumah tangga dan mulai mencuci piring. Tetapi kawan-kawan kami memprotes: “Dia seharusnya istirahat setelah makan malam. Kami dapat melakukan ini semua.” Selain itu, anak kami Leva berkata padaku: “Papa bersikeras ingin menggunakan metode ilmiah dalam mencuci piring, dan ini memakan terlalu banyak waktu kami.” Pada akhirnya, L.D. harus berhenti dari pekerjaan ini.
Sikap setengah-hati, sikap tak bersemangat, cara yang setengah-serius, semua ini tak dikenalnya. Inilah mengapa tak ada yang meletihkan dia lebih daripada percakapan yang tak berujung atau yang setengah-serius. Tetapi dengan antusias dia berangkat memetik kaktus untuk menanamnya di taman kami. Dia begitu bersemangat, yang pertama berangkat dan yang terakhir pulang. Tak satupun anak muda yang ikut serta dengannya dalam jalan-jalan kami ke pedesaan atau bekerja outdoor dengannya dapat mengikuti langkahnya; mereka menjadi letih lebih cepat, dan tertinggal satu per satu. Namun dia tidak kenal letih. Melihatnya, aku sering terpesona. Darimana dia mendapat enerjinya, staminanya? Matahari yang membakar, gunung-gunung, ataupun turun dengan kaktus seberat besi, semua ini tidak mengganggunya. Dia terhipnotis oleh pelaksanaan tugas di tangannya. Dia menemukan relaksasi dalam mengubah tugasnya. Ini juga memberikan dia istirahat sejenak dari pukulan-pukulan yang jatuh tanpa belas kasihan padanya. Semakin meremukkan pukulan ini, semakin bersemangat dia dalam melupakan dirinya di dalam pekerjaan.
Jalan-jalan kami, yang sebenarnya lebih seperti ekspedisi perang untuk mencari kaktus, menjadi semakin jarang karena “situasi di luar kendali kami.” Namun, kadang-kadang, setelah kenyang dengan monotoni dari rutinitas sehari-harinya, Lev Davidovich akan berkata padaku: “Minggu ini kita harus mengambil satu hari penuh untuk berjalan-jalan, tidakkah kau setuju?”
“Maksudmu satu hari kerja paksa?” Aku bercanda padanya
“Ayolah, mari kita pergi.”
“Akan baik kalau kita berangkat awal. Bagaimana kalau kita berangkat sekitar jam enam pagi?”
“Jam enam baik untukku, tetapi apakah ini tidak meletihkan kau?”
“Tidak, ini hanya akan menyegarkan aku, dan aku janji tidak akan memaksa diriku.”
Biasanya Lev Davidovich memberi makan kelinci dan ayam kesayangannya, dari jam tujuh lewat limabelas (kadang-kadang 7.20) sampai jam sembilan pagi. Kadang-kadang dia akan berhenti sejenak untuk mendikte ke mesin dictaphone perintah-perintah atau ide-ide yang timbul di pikirannya. Hari itu dia bekerja di pelataran tanpa interupsi. Setelah sarapan dia meyakinkan aku bahwa dia merasa baik dan menyampaikan keinginannya untuk mendikte sebuah artikel mengenai draf militer di Amerika Serikat. Dan dia mulai mendikte.
Jam satu, Rigault, pengacara kami untuk kasus serangan 24 Mei, datang untuk menemui kami. Setelah dia pergi, Lev Davidovich menemui aku di kamarku untuk mengatakan, dengan perasaan menyesal, bahwa dia harus menunda artikel itu dan meneruskan persiapan materi untuk persidangan kasus yang bersangkutan dengan serangan terhadap kami. Dia dan pengacaranya memutuskan bahwa dia harus menjawab koran El Popular dimana L.D. telah dituduh melakukan pencemaran nama di sebuah acara makan malam yang diselengarakan oleh koran tersebut.
“Dan aku akan mengambil sikap ofensif dan menuduh mereka melakukan fitnah tanpa malu.” katanya menantang.
“Sayang kau tidak bisa menulis mengenai konskripsi militer.”
“Ya, ini tak bisa ditolong. Aku harus menundanya selama dua atau tiga hari. Aku sudah meminta semua materi yang ada untuk ditaruh di atas mejaku. Setelah makan malam, aku akan mulai memeriksa mereka. Aku merasa baik,” katanya sekali lagi untuk meyakinkanku.
Setelah siesta [istirahat sore] sejenak, aku melihatnya duduk di depan mejanya, yang sudah dipenuhi dengan materi-materi bersangkutan dengan kasus El Popular. Dia tampak masih dalam semangat yang bagus. Dan ini membuatku merasa lebih ceria. Belakangan ini Lev Davidovich mengeluh akan keletihan yang jatuh adakalanya. Dia tahu bahwa ini hanyalah kondisi sementara, tetapi belakangan ini dia tampak lebih ragu mengenai ini daripada sebelumnya; hari ini tampaknya menandai awal membaiknya kondisi fisiknya. Dia terlihat baik juga. Sekali-sekali aku membuka pintu ke kamarnya sedikit saja, supaya tidak menggangunya, and melihatnya dalam posisi biasanya, membungkuk di depan meja, pena di tangan. Aku ingat satu kalimat “Satu lagi dan akhir cerita dan surat gulungan saya ada pada akhirnya.” Begitu ujar ahli menulis surat Pimen di drama “Boris Godounov” karangan Pushkin ketika ia mencatat tindakan-tindakan jahat dari Tsar Boris.
Lev Davidovich menjalani hidup mirip dengan seorang tawanan atau seorang yang terkucil, dengan perbedaan bahwa dalam kesendiriannya dia tidak hanya mencatat kronologi peristiwa-peristiwa tetapi juga melakukan perjuangan keras melawan musuh-musuh ideologinya.
Walaupun hari pendek, sampai jam lima sore Lev Davidovich telah mendikte beberapa penggalan untuk artikel mengenai konskripsi militer di Amerika Serikat dan sekitar lima puluh halaman pendek mengenai kasus El Popular, yakni intrik tipu daya Stalin. Hari ini adalah hari yang penuh ketenangan jasmani dan spiritual.
Jacson Tiba
Jam lima, kami berdua minum teh, seperti biasanya. Jam lima lewat duapuluh, mungkin lima tigapuluh, aku keluar ke balkon dan melihat L.D. di halaman dekat kandang kelinci yang terbuka. Dia sedang memberi makan binatang-binatang itu. Di sampingnya adalah seseorang yang tak kukenal. Hanya setelah dia melepaskan topinya dan mulai mendekati balkon, baru aku mengenalinya. Dia adalah “Jacson”.
“Dia di sini lagi,” tersirat di pikiranku. “Mengapa dia mulai datang ke sini begitu sering?” aku bertanya pada diri sendiri.
“Aku sangat haus, bolehkah aku minta segelas air?” Dia bertanya setelah menyambutku.
“Mungkin kau ingin secangkir teh?”
“Tidak tidak. Aku makan siang terlalu terlambat dan merasa makanan ada sampai di atas sini,” jawabnya, menunjuk ke tenggorokannya. “Ini mencekikku.” Warna mukanya abu-abu hijau. Dia tampak seperti orang yang sangat gugup.
“Mengapa kau memakai topi dan jaket?” (Jaketnya menggantung di lengan kirinya, dijepit di badannya.) “Hari in terik sekali.”
“Ya, tetapi kau tahu ini tak kan berlangsung lama, bisa hujan hari ini.” Aku ingin membantah bahwa “hari ini tidak akan hujan” dan juga mengenai dia yang selalu membual bahwa dia tidak pernah mengenakan topi atau jaket hujan, bahkan pada saat musim hujan, tetapi entah bagaimana aku kehilangan semangat dan membiarkan ini lewat. Lalu aku bertanya:
“Dan bagaimana kabar Sylvia?”
Dia tampaknya tidak mendengarkan aku. aku telah membuatnya gusar dengan pertanyaan mengenai jaket dan topinya. Dan dia sama sekali hilang dalam pikirannya sendiri, dan sangat gugup. Akhirnya, seperti bangun dari tidur yang dalam, dia menjawab: “Sylvia? ... Sylvia? ...” Dan menarik dirinya sendiri, dia menambahkan dengan tenang: “Dia selalu baik-baik saja.”
Dia mulai melangkah ke arah Lev Davidovich dan kandang kelinci. Aku bertanya padanya selagi dia melangkah menjauh: “Apakah artikelmu sudah selesai?”
“Ya, artikelku sudah selesai.”
“Apakah artikelmu diketik?”
Dengan gerakan tangan yang kaku, sambil terus menjepit jaketnya di tubuhnya, dimana tersingkap kemudian sebuah kapak es dan pisau tersimpan di kantung yang dijahit, dia mengeluarkan beberapa halaman untuk ditunjukkan kepadaku.
“Bagus kalau manuskripmu tidak ditulis dengan tangan. Lev Davidovich tidak suka manuskrip yang sulit dibaca.”
Dua hari sebelumnya dia mengunjungi kami, selalu mengenakan jaket dan topi. Aku tidak menemuinya pada saat itu karena aku tidak ada di rumah. Tetapi Lev Davidovich mengatakan padaku bahwa “Jacson” datang berkunjung dan tingkah lakunya agak mengganggunya. Lev Davidovich mengatakan ini tanpa ingin menjelaskan lebih detil, tetapi pada saat yang sama dia merasa harus menjelaskannya kepadaku, karena dia merasakan sesuatu yang baru mengenai pria ini.
“Dia membawa sebuah draf artikelnya, yang pada kenyataannya hanya beberapa kalimat tidak jelas. Aku memberikan beberapa nasihat kepadanya. Kita lihat saja.” Dan Lev Davidovich menambahkan, “Kemarin dia tidak seperti seorang Prancis sama sekali. Tiba-tiba dia duduk di atas meja dan terus mengenakan topinya.”
“Ya, ini aneh” aku berkata dengan heran. “Dia tidak pernah mengenakan topi.”
“Kali ini dia mengenakan sebuah topi,” jawab Lev Davidovich dan lalu tidak mengejar topik ini lebih jauh lagi. Tetapi aku merasa heran. Tampak bagiku bahwa pada saat itu dia telah merasakan sesuatu yang baru mengenai “Jacson” tetapi belum meraih, atau lebih tepatnya tidak terburu-buru untuk meraih kesimpulan. Percakapan singkat kami tersebut terjadi tepat sebelum kejahatan ini.
Mengenakan topi ... jaket di lengannya ... duduk di atas meja – bukankah ini semua adalah latihan untuk dirinya? Ini dilakukan supaya dia bisa lebih yakin dan jitu dalam gerakannya di esok hari.
Siapa yang dapat mengira ini pada saat itu? Ini membuat kami malu, tidak lebih dari itu. Siapa yang dapat mengira bahwa tanggal 20 Agustus, hari yang sangat biasa, akan menjadi begitu amat penting? Tidak ada tanda-tanda sebuah ancaman. Dari pagi matahari terik bersinar. Bunga-bunga bermekaran, dan rumput-rumput berkilauan seperti dipelintur ... Kami melaksanakan pekerjaan kami, tiap orang dengan caranya sendiri, kami semua mencoba membantu pekerjaan Lev Davidovich. Berapa kali dalam hari itu dia berjalan ke balkon ini, dan lalu masuk ke kamarnya dan duduk di kursi yang sama di samping mejanya ... Semua ini biasanya tampak normal saja, dan sekarang menjadi begitu buruk dan tragis. Tidak ada seorangpun di antara kami, dan dia sendiri juga, yang bisa merasakan bencana yang akan datang ini. Dan di dalam ketidakmampuan ini ada semacam jurang yang dalam. Sebaliknya, hari itu adalah hari yang paling tenang. Ketika L.D. keluar ke balkon siang hari dan aku melihatnya berdiri di sana tanpa penutup kepala di bawah matahari yang membakar, aku cepat-cepat membawa dia topi putihnya untuk melindungi kepalanya dari terik panas. Untuk melindunginya dari matahari ... tapi bahkan pada saat itu dia sedang diancam kematian. Pada saat itu, kami tidak mengira kematiannya, sebuah ledakan keputus asaan tidak mengganggu hati kami.
Aku ingat ketika sistem alarm di rumah, taman, dan pelataran sedang dipasang oleh kawan-kawan kami dan posisi para penjaga sedang ditentukan, aku mengatakan padanya bahwa seorang penjaga juga harus ditaruh di jendelanya. Pada saat itu ini tampak bagiku sangat penting. Tetapi L.D. merasa keberatan, karena ini akan meningkatkan jumlah penjaga mencapai sepuluh, yang di luar sumberdaya kami dari sudut uang dan orang-orang yang tersedia dari organisasi kami. Seorang penjaga di luar jendela tidak akan dapat menyelamatkan dia pada saat itu. Tetapi tidak adanya penjaga tersebut mengkawatirkan aku. L.D. tersentuh oleh sebuah pemberian dari kawan-kawan Amerika kami setelah serangan 24 Mei. Ini adalah sebuah jaket anti peluru, yang seperti sebuah jubah besi antik. Ketika satu hari aku memeriksa jaket itu, aku mengatakan bahwa akan baik jika kita mendapatkan sesuatu untuk melindungi kepala. Setelah kegagalan musuh kami dalam serangan 24 Mei, kami sangat yakin bahwa Stalin tidak akan menyerah, dan kami membuat persiapan-persiapan. Kami juga tahu bahwa sebuah bentuk serangan yang lain akan digunakan oleh GPU. Kami juga tidak mengecualikan serangan dari “seorang individu” yang dikirim secara rahasia dan dibayar oleh GPU. Tetapi jaket anti peluru atau helm tidak akan memberikan pelindungan yang sempurna. Untuk mengaplikasikan metode pertahanan seperti ini setiap hari adalah mustahiil. Tidaklah mungkin mengubah kehidupan seseorang menjadi pertahanan-diri, karena dengan ini maka hidup akan kehilangan semua nilainya.
Pembunuhan
Ketika “Jascon” dan aku mendekati Lev Davidovich, ia berkata padaku dalam bahasa Rusia, “Kau tahu, dia sedang menunggu Sylvia untuk mengunjungi kita. Mereka akan berangkat esok hari.” Ini adalah usul darinya bahwa aku harus mengundang mereka untuk minum teh, atau makan malam.
“Aku tidak tahu kalau kau ingin berangkat esok hari dan sedang menanti Sylvia di sini.”
“Ya ... Ya ... Aku lupa mengatakan ini kepadamu.”
“Sayang sekali aku tidak tahu, kalau tidak aku akan mengirim beberapa barang ke New York.”
“Aku dapat datang besok jam satu.”
“Tidak, tidak, terima kasih. Akan merepotkan kalian berdua.”
Dan menoleh ke Lev Davidovich, aku menjelaskan dalam bahasa Rusia bahwa aku telah menawarkan “Jacson” teh tetapi dia menolak, mengeluh bahwa dia tidak enak badan, sangat haus dan hanya meminta segelas air. Lev Davidovich memandangnya dengan perhatian, dan mengatakan dengan nada sedikit menyalahkan, “Kesehatanmu memburuk lagi, kau tampak sakit ... ini tidak baik.”
Ada jedah. Lev Davidovich tidak ingin meninggalkan kelinci-kelincinya dan sedang tidak bersemangat untuk memeriksa sebuah artikel. Namun, dia mengendalikan dirinya dan mengatakan, “Ok, bagaimana menurutmu, mari kita periksa artikelmu?”
Dia mengunci kandang kelinci, dan menanggalkan sarung tangan kerjanya. Dia merawat tangannya dengan baik, atau lebih tepatnya jari-jarinya karena luka yang paling kecil dapat membuatnya gusar karena ini akan mengganggunya dalam menulis. Dia selalu menjaga pennya seperti halnya jari-jarinya. Dia membersihkan kemeja birunya, dan dengan perlahan mulai berjalan masuk ke rumah ditemani oleh “Jacson” dan aku. Aku berjalan bersama mereka sampai ke pintu kamar belajar Lev Davidovich, pintu ditutup, dan aku berjalan ke ruangan sebelah ...
Tidak lebih dari tiga atau empat menit berlalu ketika aku mendengar jeritan keras yang menggetarkan jiwa, dan tidak memikirkan sama sekali siapa yang mengeluarkan jeritan tersebut aku segera lari ke arah darimana jeritan itu datang. Di antara ruang makan dan balkon, di samping pintu dan bersandar di sana berdiri ... Lev Davidovich. Wajahnya berlumuran darah, matanya, tanpa kaca mata, berwarna biru tajam, tangannya bergelantungan.
“Apa yang terjadi? Apa yang terjadi?”
Aku melemparkan lenganku ke pundaknya, tetapi dia tidak segera menjawab. Sekilas dalam pikiranku. Mungkin sesuatu telah jatuh dari langit-langit – ada perbaikan yang dilakukan di sana – tetapi mengapa dia ada di sini?
Dan dia mengatakan kepadaku dengan tenang, tanpa rasa marah, kepahitan atau kegusaran, “Jacson.” L.D. mengatakannya seperti dia ingin mengatakan bawah, “Ini telah terjadi.” Kami mengambil beberapa langkah dan Lev Davidovich, dengan bantuanku, terbaring di lantai di atas karpet kecil di sana.
“Natasha, aku mencintaimu.” Dia mengatakan ini begitu tiba-tiba, begitu genting, hampir sangat parah, sehingga aku terpukul di dalam hati, aku memeluknya.
“O ... O... tidak ada siapapun, tidak ada siapapun yang boleh bertemu denganmu tanpa digeledah.”
Dengan hati-hati menaruh bantal di bawah kepalanya yang terluka, aku menaruh es ke lukanya dan membersihkan darah dari wajahnya dengan kapas.
“Seva harus diamankan dari semua ini ...”
Dia berbicara dengan sangat sulit, tidak jelas, tetapi – tampak bagiku – tidak sadar.
“Kau tahu, di dalam sana - ” matanya bergerak menuju pintu kamarnya – “Aku merasakan ... mengerti apa yang ingin dia lakukan ... Dia ingin menyerang aku ... sekali lagi ... tetapi aku tidak membiarkannya,” dia berbicara dengan tenang, dengan perlahan, suaranya terputus-putus.
“Tetapi aku tidak membiarkannya.” Ada nada kepuasan di dalam kata-kata ini. Pada saat yang sama Lev Davidovich berpaling ke Joe, dan berbicara dengannya dalam bahasa Inggris. Joe berlutut di lantai seperti aku, di sisi yang lain, tepat di seberangku. Aku berusaha keras menangkap kata-katanya, tetapi tidak dapat mendengarnya. Di saat itu aku melihat Charlie, wajahnya pucat pasi, senapan di tangan, bergegas ke ruang Lev Davidovich.
“Bagaimana dengan dia?” aku bertanya ke Lev Davidovich. “Mereka akan membunuhnya.”
“Tidak ... tidak boleh dibunuh, dia harus dipaksa berbicara,” balas Lev Davidovich, masih mengutarakan kata-katanya dengan sulit, perlahan.
Semacam rengekan yang menyedihkan tiba-tiba terdengar oleh kuping kami. Aku menatap Lev Davidovich tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Dengan gerakan matanya yang hampir tak terlihat, dia menunjuk ke pintu kamarnya dan mengatakan dengan hina, “Itu jeritannya” ... “Apakah dokter telah tiba?”
“Dia akan tiba dalam beberapa menit ... Charlie telah naik mobil untuk menjemputnya.”
Si dokter pun tiba, memeriksa lukanya dan dengan cemas menyatakan bahwa lukanya “tidak berbahaya”. Lev Davidovich mendengar ini dengan tenang, hampir tidak peduli seperti seorang tidak dapat mengharapkan diagnona lain dari seorang dokter dalam situasi seperti ini. Tetapi, berpaling ke Joe dan menunjuk ke jantungnya, dia mengatakan dalam bahasa Inggirs, “Aku merasakan di sini ... Kali ini mereka telah berhasil.” Dia tidak ingin membuatku sedih.
Jam-jam Terakhir
Melalui kota yang hiruk pikuk, melewati arterinya yang sibuk dan lampu-lampu malam yang menyala, mobil ambulan berlari kencang, berkelok-kelok melewati lalu lintas macet dan mobil-mobil, dengan sirenenya yang terus mengaum, dikelilingi motor-motor polisi. Kami sedang membawa seorang yang terluka, kepedihan yang tak tertahankan di dalam hati kami, dan dengan kekhawatiran yang terus bertambah setiap menit. Dia masih sadar. Satu tangan terlentang di samping tubuhnya tak bergerak. Tangan itu lumpuh. Dr. Dutren mengatakan ini kepada aku setelah pemeriksaan di rumah, di ruang makan, di atas lantai.
Untuk tangan yang lain, yang sebelah kanan, dia tak dapat diamkan, membuat lingkaran dengannya setiap saat, menyentuhku, seperti mencari tempat yang nyaman untuknya. Dia merasa semakin sulit untuk berbicara. Membungkuk sangat rendah aku menanyakan padanya bagaimana dia.
“Lebih baik sekarang,” jawab Lev Davidovich.
“Lebih baik sekarang.” Ini mempercepat jantungku dengan harapan besar. Riuh yang memekakkan telinga, sirene terus mengaum tetapi hatiku penuh dengan harapan. “Lebih baik sekarang.”
Mobil ambulan berhenti di depan rumah sakit. Banyak orang berkerumunan di sekililing kami. “Bisa-bisa ada musuh,” sekilas tersirat di pikiranku, seperti biasanya dalam situasi yang serupa. “Dimana kawan-kawan kami? Mereka harus melindungi usungan ini ...”
Sekarang dia terbaring di ranjang. Penuh kesunyian para dokter memeriksa lukanya. Atas perintah mereka, seorang suster mulai memangkas rambutnya. Aku berdiri di kepala ranjang. Tersenyum kecil, Lev Davidovich berkata padaku, “Lihat, kita menemukan seorang tukang gunting rambut juga ...”
Dia masih mencoba menghiburku. Hari itu kami bercakap bahwa perlu dipanggil seorang tukang gunting rambut untuk menggunting rambutnya, tetapi kami tidak sempat melakukan ini. Dia sekarang mengingatkanku. Lev Davidovich memanggil Joe, yang berdiri di sana, beberapa meter dari aku dan meminta dia, yang aku ketahui hanya kemudian, untuk menuliskan salam perpisahannya. Saat itu ketika aku menanyakan apa yang Lev Davidovich katakan kepadanya, Joe menjawab, “Dia ingin aku membuat sebuah catatan mengenai statistik Prancis.” Aku sangat terkejut bahwa ini adalah mengenai statistik Prancis pada momen seperti ini. Tampak aneh. Kecuali mungkin kondisinya mulai membaik ...
Aku terus berdiri di samping ranjang, memegang sebongkah es di lukanya dan mendengarkan dengan seksama. Mereka mulai menanggalkan bajunya. Supaya tidak mengganggunya, bajunya dipotong dengan gunting; si dokter dengan sopan bertukar pandang dengan sang suster seperti untuk mendorongnya; selanjutnya jaket anti-pelurunya, lalu kaosnya. Jam tangan dia dilepaskan dari lengannya. Mereka kemudian mulai menanggalkan pakaiannya yang tersisa tanpa memotongnya, dan dia lalu mengatakan padaku, “Aku tidak ingin mereka menanggalkan pakaianku ... aku ingin kau yang lakukan ini.” Dia mengatakan ini dengan cukup jelas, hanya sangat penuh kesedihan dan kepedihan.
Ini adalah kata-katanya yang terakhir padaku. Ketika aku selesai, aku membungkuk ke arahnya dan menyentuh bibirnya dengan bibirku. Dia membalasnya. Lagi ... dan lagi dia membalasnya. Dan sekali lagi. Ini adalah salam perpisahan kami yang terakhir. Tetapi kami tidak tahu ini.
Lev Davidovich jatuh koma. Operasi tidak membawanya keluar dari koma. Tanpa melepaskan pandanganku, aku mengawasinya semalaman, menunggu “kebangkitannya kembali”. Matanya tertutup, tetapi napasnya, sebentar-sebentar berat, sebentar-sebentar tenang, memberikan harapan. Hari yang selanjutnya sama. Sampai siang hari, menurut penilaian dokter, ada perkembangan. Tetapi pada akhir hari itu, tiba-tiba ada perubahan mendadak dalam pernapasannya. Napasnya menjadi cepat, dan semakin cepat, menyebabkan ketakutan yang mematikan. Para dokter dan staf rumah sakit mengelilingi ranjangnya. Mereka tampak khawatir. Kehilangan kendali diri, aku menanyakan apa artinya ini, tetapi hanya satu dari mereka, seorang yang lebih hati-hati menjawab “ini akan berlalu,” katanya. Yang lain tetap diam. Aku mengerti bahwa semua pelipur adalah bohong dan tidak ada harapan lagi.
Mereka mengangkatnya. Kepalanya terjatuh pada satu bahu. Tangannya tergelantung seperti dalam lukisan Penyaliban oleh Titian: “Diturunkan dari Salib”. Daripada sebuah mahkota berduri, lelaki yang sekarat ini mengenakan perban. Air mukanya masih mengandung kesucian dan kebanggaan. Tampak sepertinya dia akan bangun setiap saat. Tetapi lukanya telah menusuk otaknya terlalu dalam. Kebangkitan yang begitu ditunggu-tunggu tidak kunjung datang. Suaranya juga bungkam. Semuanya telah berakhir. Dia tidak bersama kami lagi.
Pembalasan akan datang pada si pembunuh yang kejam. Selama seluruh hidupnya yang heroik dan indah, Lev Davidovich yakin pada pembebasan manusia di masa depan. Selama tahun-tahun terakhir dalam hidupnya, keyakinannya tidak goyah, sebaliknya justru menjadi semakin dewasa, semakin teguh daripada sebelumnya.
Manusia di masa depan, dibebaskan dari semua penindasan akan menang atas pemaksaan dalam segala bentuk. Dia mengajari aku untuk mempercayai ini juga.
November, 1940
Coyoacan, Meksiko