Sosialisme Utopis dan Sosialisme Ilmiah

Engels (1880)


Bagian I. Sosialisme Utopis

 

Sosialisme modern adalah, dalam esensinya, hasil langsung dari pengakuan, di satu pihak, atas antagonisme kelas dalam masyarakat hari ini antara para pemilik [alat-alat produksi] dan para non-pemilik, antara kaum kapitalis dan kaum buruh-upahan; di lain pihak, pengakuan atas anarki dalam produksi. Tetapi, dalam bentuk teorinya, Sosialisme modern awalnya tampil seakan-akan sebagai perluasan yang lebih logis dari prinsip-prinsip yang telah dikembangkan sebelumnya oleh para filsuf besar Prancis abad ke-18. Seperti setiap teori baru, Sosialisme modern mesti, pada mulanya, menghubungkan dirinya dengan gagasan-gagasan intelektual yang sudah tersedia sebelumnya, betapa pun dalamnya akarnya tertanam dalam fakta-fakta ekonomi yang materiil.

Tokoh-tokoh besar ini, yang di Prancis menyiapkan pikiran manusia untuk revolusi yang akan datang, adalah kaum revolusioner ekstrem. Mereka tidak mengakui otoritas eksternal apapun. Agama, ilmu pengetahuan alam, masyarakat, lembaga-lembaga politik – semuanya dikritik dengan tanpa ampun. Segala sesuatu harus membenarkan eksistensinya di hadapan pengadilan nalar, dan bila tidak maka ia tidak layak eksis. Nalar menjadi satu-satunya alat ukur untuk semua hal ihwal. Ini adalah jaman di mana, seperti yang dikatakan Hegel, dunia berdiri di atas kepalanya[1]; pertama dalam pengertian bahwa pikiran manusia, dan prinsip-prinsip yang dilahirkan oleh pikirannya, diklaim sebagai dasar dari semua tindakan dan relasi manusia; tetapi juga dalam pengertian yang lebih luas bahwa realitas yang berkontradiksi dengan prinsip-prinsip ini harus dijungkirbalikkan. Setiap bentuk masyarakat dan pemerintahan yang ada, setiap paham tradisional lama, dihempaskan ke dalam gudang rongsokan sebagai sesuatu yang irasional; dunia hingga kini telah membiarkan dirinya dikuasai oleh prasangka; semua yang ada di masa silam hanya pantas diratapi dan dibenci. Kini, untuk pertama kalinya, muncul cahaya terang, yaitu kerajaan nalar; dan sejak itu takhayul, ketidakadilan, privilese, penindasan, akan diganti dengan kebenaran abadi, Hak abadi, kesetaraan yang berdasarkan Alam dan hak asasi manusia.

Hari ini kita tahu bahwa kerajaan nalar ini tidak lain adalah kerajaan borjuasi yang diidealkan; bahwa Hak abadi ini menemukan realisasinya dalam hukum borjuis; bahwa kesetaraan ini mereduksi dirinya menjadi kesetaraan borjuis di mata hukum; bahwa hak kepemilikan borjuis diproklamasikan sebagai salah satu hak asasi manusia; dan bahwa pemerintahan nalar, Kontrak Sosialnya Rousseau[2], lahir, dan hanya dapat lahir, sebagai republik borjuis demokratik. Para pemikir besar abad ke-18, seperti halnya para pendahulu mereka, tidak dapat melampaui batas-batas yang dipaksakan oleh zaman mereka.

Tetapi, berdampingan dengan antagonisme antara kaum bangsawan feodal dan kaum burgher,[3] yang mengklaim mewakili seluruh masyarakat, terdapat antagonisme umum antara kaum penghisap dan yang terhisap, antara kaum kaya yang tak-bekerja dan kaum buruh miskin. Keadaan inilah yang memungkinkan para perwakilan borjuasi untuk mengedepankan diri mereka sebagai perwakilan bukan dari suatu kelas istimewa, tetapi dari keseluruhan kemanusiaan yang menderita. Lebih jauh lagi. Sejak awal kaum borjuis dibebani oleh antitesisnya: kaum kapitalis tidak bisa eksis tanpa kaum buruh-upahan, dan, dalam proporsi yang sama sebagaimana kaum burgher gilda abad-pertengahan berkembang menjadi borjuasi modern, kaum journeyman[4] gilda dan pekerja-harian di luar gilda berkembang menjadi proletariat. Dan walaupun kaum borjuis, dalam perjuangan mereka melawan kaum bangsawan, dapat mengklaim mewakili sekaligus kepentingan berbagai kelas pekerja pada periode itu, namun dalam setiap gerakan borjuis yang besar dapat kita temui letupan-letupan independen dari kelas yang menjadi cikal-bakal proletariat modern. Misalnya, pada saat Reformasi Jerman[5] dan Perang Tani[6], kaum Anabaptis[7] dan Thomas Muntzer[8]; pada saat Revolusi Inggris[9], kaum Leveller[10]; pada saat Revolusi Prancis, Babeuf[11].

Di setiap pemberontakan revolusioner dari sebuah kelas yang belum berkembang ini dapat kita temui pemaparan teori yang bersesuaian dengannya; pada abad ke-16 dan ke-17, teori Utopis mengenai kondisi sosial yang ideal[12]; di abad ke-18, teori komunis (Morelly dan Mably)[13]. Tuntutan untuk kesetaraan tidak lagi terbatas pada hak-hak politik; ia juga diperluas ke kondisi-kondisi sosial individu. Bukan hanya privilese kelas yang mesti dihapus, tetapi jugaperbedaan kelas itu sendiri. Sebuah komunisme, yang asketis, yang menolak semua kenikmatan duniawi, yang sederhana, adalah bentuk pertama ajaran baru ini. Kemudian datang tiga tokoh Utopis besar: 1) Saint-Simon; baginya gerakan kelas menengah, yang berdampingan dengan gerakan proletar, masih memiliki signifikansi tertentu; 2) Fourier; 3) Owen; di negeri di mana produksi kapitalis paling berkembang, dan di bawah pengaruh antagonisme yang lahir darinya, ia merumuskan sejumlah proposal untuk menghampus perbedaan kelas secara sistematik, proposal-proposal yang erat kaitannya dengan materialisme Prancis.

Ada satu hal yang sama di antara ketiga kaum Utopis ini. Tidak satu pun dari mereka tampil sebagai perwakilan dari kepentingan proletariat yang pada saat itu telah dilahirkan oleh perkembangan sejarah. Seperti para filsuf Prancis, mereka tidak mengklaim ingin membebaskan kelas tertentu, tetapi seluruh umat manusia. Seperti mereka pula, ketiga kaum Utopis ini ingin mendirikan kerajaan nalar dan keadilan abadi. Tetapi kerajaan yang mereka bayangkan ini sangatlah berbeda jauh dari kerajaan yang diimpikan oleh para filsuf Prancis, seperti halnya Surga jauh dari Bumi.

Karena, bagi ketiga kaum reformis sosial kita, masyarakat borjuis, yang didasarkan pada prinsip-prinsip para filsuf Prancis, adalah sistem yang irasional dan tidak adil seperti halnya feodalisme, dan oleh karenanya akan terhempas ke tong sampah sebagaimana feodalisme dan semua tahapan masyarakat sebelumnya. Jika nalar dan keadilan sejati hingga kini belum menguasai dunia, maka ini hanya karena manusia belum memahaminya dengan benar. Yang diperlukan adalah seorang individu yang jenius, yang kini telah tiba dan memahami kebenaran. Bahwa kini ia telah tiba, bahwa kebenaran kini telah dipahami dengan jernih, ini bukanlah sebuah peristiwa yang tak terelakkan, yang mengikuti keniscayaan dalam rangkaian perkembangan historis, tetapi sekedar kebetulan saja. Individu jenius ini bisa saja dilahirkan 500 tahun lebih dini, dan dengan begitu dapat menghindarkan umat manusia dari 500 tahun kekeliruan, perang, dan penderitaan.

Kita telah melihat bagaimana para filsuf Prancis abad ke-18, para pelopor Revolusi, menggunakan nalar sebagai satu-satunya hakim atas segala yang ada. Pemerintahan yang rasional, masyarakat yang rasional, harus didirikan; segala sesuatu yang bertentangan dengan nalar abadi mesti dienyahkan dengan tanpa belas kasihan. Kita juga telah melihat bagaimana nalar abadi ini pada kenyataannya tidak lain hanyalah pemahaman ideal orang-orang abad ke-18, yang saat itu baru saja berevolusi menjadi borjuasi. Revolusi Prancis telah merealisasikan masyarakat dan pemerintahan yang rasional ini.

Tetapi, tatanan yang baru ini, yang cukup rasional jika dibandingkan dengan kondisi sebelumnya, ternyata tidak sepenuhnya rasional. Negara yang didasarkan pada nalar iniambruk sama sekali. Kontrak Sosial Rousseau telah menemukan realisasinya dalam Pemerintahan Teror[14]. Kaum borjuis, yang telah kehilangan kepercayaan pada kapasitas politik mereka sendiri, mula-mula berlindung dari Pemerintahan Teror ini di balik Pemerintahan Direktorat yang korup, dan, akhirnya, di bawah sayap despotisme Napoleon.[15] Perdamaian abadi yang dijanjikan berubah menjadi perang penaklukan tiada henti. Masyarakat yang didasarkan pada nalar ternyata tidak lebih baik. Antagonisme antara yang kaya dan yang miskin, alih-alih meluluh menjadi kemakmuran bersama, menjadi semakin tajamdengan disingkirkannya gilda dan privilese-privilese lainnya, yang pada tingkatan tertentu telah melunakkan antagonisme tersebut, dan dengan dibubarkannya lembaga-lembaga amal Gereja. “Kebebasan hak milik” dari belenggu feodal, yang kini telah tercapai sepenuhnya, ternyata menjadi, bagi kaum kapitalis kecil dan petani kecil, kebebasan untuk menjual propertinya yang sedikit itu. Mereka remuk di bawah tekanan persaingan yang sangat ketat dari kaum kapitalis besar dan tuan tanah yang menguasai segalanya. Dan, sejauh menyangkut kaum kapitalis kecil dan petani kecil, kebebasan ini telah menjadi “kebebasan dari hak milik”. Perkembangan industri di atas basis kapitalis membuat kemiskinan dan kesengsaraan massa buruh menjadi syarat bagi keberadaan masyarakat kapitalis. Pembayaran tunai semakin hari semakin menjadi, dalam ungkapan Carlyle[16], satu-satunya relasi antar manusia. Jumlah kejahatan meningkat dari tahun ke tahun. Sebelumnya, kejahatan feodal terjadi secara terbuka di siang bolong; sekalipun tidak dilenyapkan, mereka kini telah didesak ke latar belakang. Sebagai gantinya, kejahatan borjuis, yang hingga kini dipraktikkan secara rahasia, mulai mekar dengan megahnya. Perdagangan menjadi penipuan besar yang semakin hari semakin menjadi-jadi. Semboyan “persaudaraan” Revolusi Prancis[17] telah direalisasikan menjadi penipuan dan permusuhan dalam persaingan. Penindasan dengan kekerasan diganti dengan korupsi; pedang, sebagai pengungkit sosial yang utama, diganti dengan emas. Hak atas malam pertama[18] ditransfer dari tuan-tuan feodal ke kaum borjuis manufaktur. Prostitusi meningkat sampai ke tingkatan yang tak pernah dibayangkan. Pernikahan itu sendiri, seperti sebelumnya, tetap merupakan bentuk legal dan kedok resmi prostitusi, dan, terlebih lagi, disertai dengan banyak perzinaan.

Singkat kata, dibandingkan dengan janji-janji indah para filsuf besar Prancis, institusi-institusi sosial dan politik yang dilahirkan dari “kemenangan nalar” adalah karikatur yang sangat mengecewakan. Yang kurang hanyalah orang-orang yang mampu merumuskan kekecewaan ini, dan mereka tiba pada peralihan abad. Pada 1802 surat-surat Jenewa Saint-Simon muncul[19]; pada 1803 muncul karya pertama Fourier, sekalipun landasan teorinya sudah dikerjakannya sejak 1799[20]; pada 1 Januari, 1800, Robert Owen memulai mengelola New Lanark[21].

Namun, pada saat itu moda produksi kapitalis, dan dengannya antagonisme antara borjuasi dan proletariat, masih belum sepenuhnya berkembang. Industri Modern, yang baru saja lahir di Inggris, masih belum dikenal di Prancis. Tetapi Industri Modern mengembangkan, di satu sisi, konflik tidak hanya antara kelas-kelas yang dilahirkan olehnya tetapi juga antara kekuatan produktif dan bentuk pertukaran yang diciptakan olehnya. Konflik-konflik ini membuat revolusi dalam moda produksi dan penyingkiran karakter kapitalisnya menjadi sesuatu yang niscaya. Di sisi lain, Industri Modern mengembangkan, lewat kekuatan produktif raksasa ini, sarana untuk mengakhiri konflik-konflik ini. Oleh karenanya, jika pada sekitar tahun 1800, konflik-konflik yang timbul dari tatanan sosial yang baru ini baru saja mulai mengambil bentuk, maka ini bahkan lebih benar bagi sarana untuk mengakhirinya. Selama Pemerintahan Teror kaum miskin kota Paris mampu berkuasa untuk sejenak, dan dengan demikian memimpin revolusi borjuis mencapai kemenangan tanpa membutuhkan borjuasi itu sendiri. Tetapi, dalam melakukan itu, mereka hanya membuktikan betapa mustahilnya bagi mereka untuk terus berkuasa di bawah kondisi-kondisi yang berlaku pada saat itu. Kaum proletar, yang ketika itu untuk pertama kalinya berevolusi dari kaum miskin kota sebagai nukleus kelas yang baru, masih belum mampu meluncurkan aksi politik secara mandiri. Mereka tampil sebagai sebuah kelas yang tertindas dan menderita, yang dalam ketidakmampuannya untuk menolong dirinya sendiri hanya bisa mendapatkan pertolongan paling-paling dari luar atau dari atas.

Keadaan historis ini juga mendominasi para pendiri Sosialisme. Teori yang belum matang berkorespondensi dengan kondisi produksi kapitalis yang belum matang dan kondisi kelas yang belum matang pula. Para pemikir Utopis berusaha mencari solusi untuk problem-problem sosial yang ada dalam benak manusia, padahal solusi ini masih tersembunyi dalam kondisi ekonomi yang belum berkembang. Masyarakat hanya membuat kesalahan saja; untuk mengoreksi kesalahan ini adalah tugas nalar. Oleh karenanya kita hanya perlu menemukan sebuah sistem tatanan sosial baru yang lebih sempurna, dan dari luar memaksakan sistem ini pada masyarakat lewat propaganda, dan, bila memungkinkan, dengan contoh dari eksperimen-eksperimen sosial. Sistem-sistem sosial baru ini ditakdirkan menjadi Utopia belaka. Semakin lengkap dan terperinci mereka dirancang, semakin mereka menjadi fantasi murni.

Dengan terbuktinya fakta-fakta ini, kita tidak perlu lagi menghabiskan waktu barang sedetik pun berbicara mengenai persoalan ini, yang sepenuhnya ada di masa lalu. Kita bisa meninggalkannya kepada para intelektual ikan teri untuk berdebat mengenai fantasi-fantasi ini, yang dewasa ini hanya membuat kita tersenyum, dan untuk berkokok mengenai keunggulan penalaran mereka yang gersang itu, jika dibandingkan dengan “kegilaan” seperti itu. Bagi kita sendiri, kita mengapresiasi pemikiran-pemikiran luar biasa dan benih-benih pemikiran yang di mana-mana merangsek keluar dari bungkus fantasi mereka, dan yang tidak bisa dilihat oleh kaum filistin ini.

Saint-Simon adalah putra Revolusi Besar Prancis. Ketika Revolusi meletus ia baru menginjak umur 30. Revolusi Prancis merupakan kemenangan estate ketiga[22] – yakni massa rakyat seluruh nasion, yang bekerja dalam produksi dan perdagangan – atas kelas-kelas berprivilese “yang tidak bekerja”, para bangsawan dan pendeta. Tetapi kemenangan estate ketiga ini segera mengungkapkan dirinya sebagai kemenangan hanya untuk selapisan kecil “estate” ini saja, sebagai penaklukan kekuasaan politik oleh satu lapisan estate ketiga yang memiliki privilese sosial, yakni kaum borjuis. Dan kaum borjuis jelas telah berkembang pesat selama Revolusi, sebagian lewat spekulasi tanah milik kaum bangsawan dan milik Gereja, yang disita dan kemudian dijual, dan sebagian lewat penipuan dengan kontrak-kontrak militer. Di bawah pemerintahan Direktorat, dominasi para penipu ini mendorong Prancis dan Revolusi ke tepi jurang kehancuran, dan dengan demikian memberi Napoleon dalih untuk kudetanya.

Oleh karenanya, bagi Saint-Simon antagonisme antara estate ketiga dan kelas-kelas berprivilese mengambil bentuk antagonisme antara “yang bekerja” dan “yang tidak-bekerja”. Kaum yang tidak-bekerja tidak hanya terbatas pada kelas-kelas lama yang berprivilese, tetapi juga semua orang yang, tanpa terlibat dalam produksi atau distribusi, hidup dari kerja orang lain. Dan kaum yang bekerja mencakup tidak hanya kaum buruh-upahan saja, tetapi juga para pengusaha manufaktur, para pedagang, para bankir. Revolusi telah membuktikan bahwa kaum yang tidak-bekerja telah kehilangan kapasitas kepemimpinan intelektual dan supremasi politik, dan masalah ini telah akhirnya diselesaikan oleh Revolusi. Pengalaman Pemerintahan Teror, bagi Saint-Simon, telah membuktikan bahwa kelas-kelas tak-berproperti tidak mempunyai kapasitas ini. Lalu, siapa yang akan memimpin dan memerintah? Menurut Saint-Simon, sains dan industri, yang disatukan oleh sebuah ikatan religius baru, yangditakdirkan untuk memulihkan kesatuan ide-ide religius yang telah hilang sejak jaman Reformasi [Jerman] – sebuah “Kekristenan baru” yang niscaya mistis dan hierarkis. Tetapi sains, yang diwakili oleh kaum intelektual; dan industri, yang terutama diwakili oleh kaum borjuis, pengusaha manufaktur, pedagang, bankir. Menurut Saint-Simon, kaum borjuis ini akan mengubah diri mereka menjadi semacam pejabat publik, semacam wali sosial; tetapi mereka masih akan memerintah kaum buruh dan memiliki posisi ekonomi yang istimewa di atas kaum buruh. Para bankir terutama akan diminta untuk mengarahkan seluruh produksi sosial dengan regulasi kredit. Konsepsi ini bersesuaian dengan zaman di mana Industri Modern di Prancis baru saja lahir, dan, bersamaan dengannya, jurang antara borjuasi dan proletariat juga baru saja muncul. Tetapi yang terutama ditekankan oleh Saint-Simon adalah ini: yang dia perhatikan pertama-tama, di atas segalanya, adalah nasib kelas yang jumlahnya paling banyak dan yang paling miskin (“la classe la plus nombreuse et la plus pauvre”).[23]

Dalam surat-surat Jenewanya, Saint-Simon sudah mengajukan proposisi bahwa “semua orang mesti bekerja”. Dalam karya yang sama ia juga mengakui bahwa Pemerintahan Teror adalah pemerintahan massa yang tak-berproperti. Ia berkata pada mereka: “Lihat apa yang terjadi di Prancis ketika kamerad-kamerad kalian berkuasa di sana. Mereka mendatangkan bencana kelaparan.”[24]

Tetapi untuk bisa memahami sedini tahun 1802 bahwa Revolusi Prancis adalah perang kelas, dan bukan sekedar perang kelas antara kaum bangsawan dan kaum borjuis, tetapi antara kaum bangsawan, kaum borjuasi, dan kaum tak-berproperti, adalah sebuah penemuan yang sangat luar biasa. Pada 1816, ia menyatakan, politik adalah sains mengenai produksi, dan meramalkan penyerapan sepenuhnya ilmu politik oleh ilmu ekonomi.[25] Pemahamannya, bahwa kondisi ekonomi merupakan landasan bagi institusi politik, masihlah dalam bentuk embrio. Namun, Saint-Simon sudah secara jelas memaparkan gagasan mengenai transformasi kekuasaan politik atas manusia menjadi sistem administrasi atas segala sesuatu dan pengarahan proses-proses produksi – dalam kata lain “penghapusan negara”, yang baru-baru ini diributkan banyak orang.

Saint-Simon menunjukkan superioritas yang sama di atas orang-orang sezamannya, ketika pada 1814, setelah masuknya pasukan sekutu ke Paris[26], dan lagi pada 1815, selama Perang Seratus Hari[27], ia menyatakan bahwa aliansi antara Prancis dengan Inggris, dan kemudian kedua negara ini dengan Jerman, adalah satu-satunya jaminan bagi pembangunan dan perdamaian Eropa. Berkhotbah pada orang-orang Prancis pada 1815 mengenai persekutuan dengan para pemenang Pertempuran Waterloo [yaitu Inggris dan Prusia] tidak hanya memerlukan wawasan sejarah yang luas tetapi juga keberanian besar.

Apabila dalam karya Saint-Simon kita temui pandangan yang komprehensif dan luas, di mana hampir semua gagasan kaum Sosialis di kemudian hari – tidak hanya gagasan ekonomi saja – dapat ditemukan dalam bentuk embrionya, maka dalam karya Fourier kita temui kritik terhadap kondisi masyarakat yang ada, yang khas Prancis dan jenaka, tetapi tidak kalah menyeluruh. Fourier menelanjangi semua ucapan kaum borjuis, para nabi mereka sebelum Revolusi, dan para penyanjung mereka setelah Revolusi. Tanpa belas kasihan dia ekspos kesengsaraan materiil dan moral dunia borjuis. Dia pertentangkan dunia borjuis ini dengan janji-janji muluk para filsuf sebelumnya, yang menjanjikan sebuah masyarakat di mana hanya nalar yang berkuasa, sebuah peradaban di mana kebahagiaan adalah universal, sebuah masyarakat dengan kesempurnaan manusia yang tak terbatas. Dia tunjukkan bagaimana realitas dunia yang memilukan hati ini tidak sesuai dengan puja-puji yang paling muluk, dan dia kecam ini dengan sarkasmenya yang pedas.

Fourier bukan hanya seorang kritikus. Wataknya yang tenang dan anteng menjadikannya seorang satiris, dan salah satu satiris terhebat sepanjang masa. Ia melukiskan, dengan kekuatan dan pesona yang sama, spekulasi penipuan yang tumbuh subur di atas reruntuhan Revolusi, dan semangat tukang-kelontong yang mendominasi dan menjadi karakter perdagangan Prancis pada masa itu. Lebih piawai lagi adalah kritiknya mengenai bentuk borjuis dari relasi antara laki-laki dan perempuan, dan kedudukan perempuan dalam masyarakat borjuis. Ia adalah orang pertama yang menyatakan bahwa dalam masyarakat mana pun tingkat emansipasi perempuan merupakan indikator alami tingkat emansipasi secara umum.[28]

Tetapi puncak pemikiran Fourier dapat ditemui dalam konsepsinya mengenai sejarah masyarakat. Ia membagi keseluruhan alur sejarah masyarakat sampai hari ini ke dalam empat tahapan evolusi: kebiadaban, barbarisme, patriarkat, peradaban. Yang terakhir ini identik dengan yang dewasa ini disebut masyarakat sipil atau borjuis – yakni tatanan sosial yang lahir pada abad ke-16. Ia membuktikan “bahwa tahapan peradaban mengubah setiap kejahatan yang dipraktikkan secara sederhana oleh barbarisme menjadi sebuah bentuk eksistensi yang kompleks, ambigu, samar-samar, munafik”[29] – bahwa peradaban bergerak “dalam sebuah lingkaran setan ”, dalam kontradiksi-kontradiksi yang terus-menerus direproduksinya tanpa mampu memecahkannya; oleh karenanya peradaban selalu tiba pada kebalikan dari apa yang hendak dicapainya, atau pura-pura hendak dicapainya,[30] sehingga, misalnya, “di bawah peradaban kemiskinan dilahirkan dari keberlimpahan itu sendiri.”[31]

Fourier, seperti kita ketahui, menggunakan metode dialektika secara piawai seperti Hegel. Dengan menggunakan dialektika, ia menentang gagasan mengenai kesempurnaan manusia yang tak terbatas. Ia menekankan bahwa setiap tahapan sejarah memiliki periode kemajuan dan juga periode kemunduran, dan ia menerapkan pengamatan ini pada masa depan seluruh umat manusia. Seperti Kant yang memperkenalkan ke dalam ilmu alam gagasan mengenai kehancuran akhir Bumi, Fourier memperkenalkan ke dalam ilmu sejarah gagasan mengenai kehancuran akhir umat manusia.

Sementara di Prancis ada badai Revolusi yang menyapu negeri itu, di Inggris sedang berlangsung revolusi yang lebih tenang, tetapi tidak kalah dahsyatnya. Tenaga uap dan mesin-mesin baru mentransformasi manufaktur menjadi industri modern skala-besar, dan dengan demikian merevolusionerkan seluruh fondasi masyarakat borjuis. Derap langkah periode manufaktur yang lamban berubah menjadi periode produksi skala-besar yang berkembang dengan pesat. Dengan kecepatan yang semakin tinggi, masyarakat semakin terpecah menjadi kaum kapitalis besar di satu sisi dan kaum proletar yang tak-berproperti di sisi lain. Di antara kedua kelas ini, alih-alih kelas menengah yang stabil, kita dapati massa pengrajin dan pedagang kecil yang tidak stabil, yang merupakan lapisan populasi yang paling berfluktuasi, yang kini menjalani kehidupan yang tidak menentu.

Moda produksi baru ini masihlah di awal periode kebangkitannya. Ia masih merupakan metode produksi yang normal dan lazim sampai saat itu – satu-satunya metode produksi yang memungkinkan di bawah kondisi-kondisi yang ada. Meskipun demikian ia telah menimbulkan problem-problem sosial yang mengerikan: terpinggirkannya populasi tunawisma ke pemukiman paling kumuh di kota-kota besar; melonggarnya semua ikatan moral tradisional, kepatuhan patriarkal, dan relasi keluarga; kerja berlebihan yang parah, terutama di antara kaum perempuan dan anak-anak; demoralisasi total kelas buruh, yang tiba-tiba dihempaskan ke dalam kondisi yang sama sekali baru, dari desa ke kota, dari pertanian ke industri modern, dari kondisi kehidupan yang stabil ke kondisi kehidupan yang tidak menentu dan berubah dari hari ke hari.

Pada titik ini tampil seorang reformis, seorang pengusaha manufaktur berusia 29 tahun – seorang pria dengan kesederhanaan dan kenaifan yang hampir seperti anak kecil, yang sublim, dan pada saat yang sama adalah salah satu dari sedikit pemimpin alami. Robert Owen telah mengadopsi ajaran para filsuf materialis: bahwa karakter seseorang adalah di satu sisi produk keturunan; di sisi lain produk lingkungan individu itu sepanjang hidupnya, dan khususnya selama masa perkembangannya. Dalam revolusi industri kebanyakan orang dari kelasnya hanya melihat chaos dan kekacauan, dan kesempatan untuk mengail dalam air keruh dan meraup secepat mungkin kekayaan berlimpah. Ia melihat dalam revolusi industri peluang untuk mempraktikkan teori favoritnya, dan dengan demikian melahirkan keteraturan dari kekacauan. Ia telah mencobanya dengan berhasil, sebagai mandor yang mengepalai lebih dari lima ratus orang di sebuah pabrik di Manchester. Dari 1800 hingga 1829, sebagai mitra pengelola, ia mengelola pabrik katun besar di New Lanark, Skotlandia, dengan cara yang sama, tetapi dengan kebebasan yang lebih besar dan dengan kesuksesan yang memberinya reputasi di Eropa. Populasi, yang awalnya terdiri atas unsur-unsur yang paling beragam dan sebagian besar sangat terdemoralisasi, populasi yang perlahan tumbuh menjadi 2.500 orang, diubahnya menjadi sebuah koloni teladan, di mana tidak akan kita temui kemabukan, polisi, hakim, perkara hukum, undang-undang kemiskinan, sedekah. Dan semua ini dicapai hanya dengan menempatkan manusia dalam kondisi yang layak bagi manusia, dan khususnya dengan menaruh perhatian besar pada generasi baru. Ia adalah pendiri sekolah taman kanak-kanak, dan memperkenalkannya pertama kalinya di New Lanark. Menginjak usia dua tahun anak-anak masuk sekolah, di mana mereka dapat bermain dengan begitu bahagianya sampai-sampai mereka sulit diajak pulang. Sementara para pesaingnya mempekerjakan buruh mereka 13 atau 14 jam sehari, di New Lanark jam kerja hanya sepuluh setengah jam. Ketika krisis industri kapas menghentikan pekerjaan selama empat bulan, para buruhnya menerima upah penuh mereka. Kendati semua ini bisnisnya tumbuh lebih dari dua kali lipat, dan terus menghasilkan profit besar untuk para pemiliknya hingga akhir.

Sekalipun begitu, Owen tidak puas. Kehidupan yang telah ia jamin bagi buruhnya, di matanya, masih jauh dari layak bagi manusia. “Mereka adalah budak yang tergantung pada belas kasihanku.” Kondisi yang relatif lebih baik yang telah dia jamin bagi para buruhnya masih jauh dari yang diperlukan untuk memungkinkan perkembangan karakter dan intelek yang rasional dan menyeluruh, apalagi penggunaan seluruh kapasitas mereka secara bebas.

“Namun, 2.500 pekerja ini setiap harinya memproduksi kekayaan riil yang sama banyaknya dengan yang dihasilkan oleh 600.000 pekerja kurang dari setengah abad yang lalu. Saya bertanya pada diri saya sendiri, ke mana selisih antara kekayaan yang dikonsumsi oleh 2.500 orang dan yang dikonsumsi oleh 600.000 orang?”[32]

Jawabannya jelas. Selisih ini digunakan untuk membayar para pemilik perusahaan 5 persen dividen dari kapital yang telah mereka tanamkan, ditambah 300.000 pound laba bersih. Dan yang berlaku di New Lanark berlaku bahkan lebih jauh di semua pabrik di Inggris.

“Seandainya kekayaan baru ini tidak diciptakan oleh mesin, meskipun telah diterapkan secara tidak sempurna, perang-perang di Eropa untuk melawan Napoleon, dan untuk mendukung aristokrasi, tidak mungkin bisa dipertahankan. Namun kekuatan baru ini adalah ciptaan kelas buruh.”

Oleh karenanya, buah hasil dari kekuatan baru ini adalah milik buruh. Kekuatan produktif raksasa yang baru ini, yang hingga kini hanya digunakan untuk memperkaya segelintir orang dan memperbudak massa, memberi Owen fondasi untuk membangun ulang masyarakat. Kekuatan produktif ini ditakdirkan untuk menjadi hak milik bersama dan digunakan demi kebaikan bersama.

Komunismenya Owen sepenuhnya didasarkan atas pertimbangan bisnis, yang boleh dikatakan merupakan hasil perhitungan komersial. Selama eksperimen sosialnya, ia mempertahankan sifat praktis ini. Dengan itu, pada 1823, Owen mengajukan proposal untuk memecahkan masalah kelaparan di Irlandia dengan membentuk koloni-koloni Komunis. Ia menghitung semua biaya yang diperlukan untuk mendirikan koloni-koloni ini, pengeluaran tahunan, dan kemungkinan sumber pemasukannya. Dia menyusun rinci-rinci teknis rencananya dengan pengetahuan yang begitu praktis dan dengan mempertimbangkan semua aspek dari segala sudut, sehingga bila kita menerima metode reformasi sosial Owen, dari sudut pandang teknis tidak banyak yang bisa kita katakan.

Langkahnya ke arah Komunisme merupakan titik balik dalam kehidupan Owen. Selama ia hanya seorang dermawan, ia dihujani dengan kekayaan, tepuk tangan, kehormatan dan kemuliaan. Ia adalah orang paling terkenal di Eropa. Tidak hanya orang-orang dari kelasnya sendiri, tetapi para negarawan dan pangeran mendengarkannya dengan anggukan setuju. Tetapi ketika ia mengajukan teori-teori Komunisnya, ini jadi lain soal. Menurutnya ada tiga rintangan besar di jalan menuju reformasi sosial: kepemilikan pribadi, agama, dan bentuk perkawinan yang ada. Ia tahu apa konsekuensi yang harus dia hadapi jika ia menyerang ketiga hal itu. Ia akan dikriminalisasi, dikucilkan dari masyarakat, dan kehilangan semua kedudukan sosialnya. Tetapi semua ini tidak membuatnya takut. Setelah dikucilkan dari masyarakat, dibungkam oleh konspirasi pers, dibangkrutkan oleh eksperimen-eksperimen Komunisnya yang gagal di Amerika, di mana ia mengorbankan seluruh hartanya, ia lalu langsung berpaling ke kelas buruh dan terus bekerja di tengah-tengah mereka selama tiga puluh tahun. Setiap gerakan sosial dan setiap pencapaian riil kelas buruh di Inggris ada sangkut pautnya dengan nama Robert Owen. Pada 1819, setelah lima tahun berjuang, ia berhasil memenangkan undang-undang pertama yang membatasi jam kerja perempuan dan anak-anak di pabrik.[33] Ia menjadi presiden Kongres pertama yang menyatukan semua Serikat Buruh Inggris ke dalam sebuah asosiasi serikat buruh besar.[34] Sebagai langkah-langkah transisional untuk menuju masyarakat komunistik, ia mengajukan di satu sisi pembentukan koperasi pedagang eceran dan produksi. Koperasi ini setidaknya sampai hari ini telah menyediakan kepada kita bukti praktis bahwa pedagang dan pengusaha manufaktur secara sosial tidak diperlukan. Di sisi lain, ia memperkenalkan bazar kerja untuk pertukaran produk-produk kerja melalui medium surat-kerja, yang unitnya adalah satu jam kerja.[35] Bazar kerja ini adalah institusi yang ditakdirkan gagal, tetapi sepenuhnya mengantisipasi sistem bank pertukaran yang diajukan oleh Proudhon di kemudian hari. Perbedaannya adalah, tidak seperti Proudhon, Owen tidak mengklaim ini sebagai obat mujarab untuk semua penyakit sosial, tetapi hanya sebagai langkah pertama menuju revolusi sosial yang jauh lebih radikal.

Cara pandang Utopis ini telah lama mendominasi ide-ide sosialis abad ke-19, dan masih mendominasi beberapa dari mereka. Sampai baru-baru ini, semua kaum sosialis Inggris dan Prancis masih memegang cara pandang ini. Komunisme Jerman awal, termasuk Weitling[36], juga datang dari mazhab yang sama. Bagi mereka semua, Sosialisme adalah ekspresi kebenaran, nalar, dan keadilan yang absolut, dan hanya perlu ditemukan untuk bisa menaklukkan seluruh dunia dengan kekuatan argumennya. Dan karena kebenaran absolut tidaklah terikat oleh waktu, ruang, dan perkembangan historis manusia, maka hanya kebetulan belaka kapan dan di mana ia akan ditemukan. Dengan cara berpikir seperti ini, para pendiri berbagai mazhab yang beraneka ragam ini menemukan kebenaran, nalar dan keadilan absolut yang beraneka ragam pula. Dan karena kebenaran, nalar, dan keadilan absolut dari tiap-tiap pendiri ini memiliki keunikannya tersendiri, yang dikondisikan oleh pemahamannya yang subjektif, kondisi keberadaannya, cakupan pengetahuan dan pelatihan intelektualnya, maka konflik antara berbagai kebenaran absolut ini tidak mungkin akan ada akhirnya; dan kebenaran-kebenaran absolut yang beraneka ragam ini menjadi eksklusif dari satu sama lain. Maka dari itu, dari semua ini hanya bisa kita dapati semacam Sosialisme rata-rata yang eklektik, yang sampai saat ini mendominasi pikiran kebanyakan buruh sosialis di Prancis dan Inggris. Kita dapati Sosialisme gado-gado yang dapat menampung bermacam rupa pendapat, pernyataan kritis, teori ekonomi, gambaran masyarakat masa depan yang dibayangkan oleh para pendiri berbagai sekte, yang paling tidak menyinggung opini publik; sebuah pemikiran gado-gado yang semakin mudah digodok bila tiap-tiap sudut tajamnya semakin ditumpulkan oleh arus perdebatan, seperti batu-batu bulat di anak sungai.

Untuk membuat Sosialisme menjadi ilmiah, ia harus terlebih dahulu diletakkan di atas landasan yang riil.


Catatan kaki:

[1] Ini yang dikatakan Hegel mengenai Revolusi Prancis: “Pikiran, konsep hukum, semuanya itu seketika menegaskan keberadaannya, dan merobohkan bangunan lama yang tidak benar. Dalam konsepsi hukum ini, oleh karenanya, sebuah konstitusi kini telah ditetapkan, dan sejak itu segala sesuatu mesti didasarkan padanya. Sejak matahari diam di tempat, dan planet-planet berkeliling di seputarnya, tidak pernah terlihat manusia berdiri di atas kepalanya – yakni di atas Ide – dan membangun realitas menurut citranya. Anaxagoras mula-mula mengatakan bahwa Nalar memerintah dunia; tetapi sekarang, untuk pertama kalinya, manusia akhirnya mengakui bahwa Ide mesti memerintah realitas mental. Dan ini adalah matahari terbit yang indah. Semua Makhluk yang berpikir telah ikut serta dalam merayakan hari suci ini. Emosi yang sublim menggerakkan manusia pada waktu itu, antusiasme akan nalar menyebar ke seluruh penjuru dunia, sebagaimana ia sekarang telah sampai pada rekonsiliasi Asas Ilahi dengan dunia.” (Hegel, "Philosophy of History", 1840, hal. 535). Bukankah sudah waktunya untuk membenturkan undang-undang Anti-sosialis dengan ajaran-ajaran dari almarhum Profesor Hegel, yang subversif dan berbahaya ini? [Keterangan Engels]

[2] Menurut teorinya Rousseau, manusia awalnya hidup di bawah kondisi liar, ketika semua manusia setara. Munculnya kepemilikan pribadi dan semakin dalamnya ketidaksetaraan properti memulai transisi dari kondisi liar ke kondisi peradaban, dan mendorong terbentuknya negara yang berdasarkan kontrak sosial. Namun, semakin mendalamnya ketidaksetaraan politik menyebabkan dilanggarnya kontrak sosial dan munculnya sebuah negara penindas yang baru. Sebuah negara yang berdasarkan nalar, yang dibangun di atas sebuah kontrak sosial yang baru, diperlukan untuk menyingkirkan penindasan ini. Teori ini dipaparkan di Discours sur l’origine el les fondemens de l'inégalité parmi les hommes, Amsterdam, 1755, dan Du contract social; ou, principes du droit politique, Amsterdam, 1762.

[3] Kaum burgher adalah kaum borjuis awal. Kata borjuasi sendiri berasal dari kata “burgher”. Dimulai sejak abad ke-11 para pedagang dan artisan (pengrajin) membentuk kota-kota awal yang disebut Burgh, yang diberi kekuasaan administrasi dan semacam otonomi oleh Raja. Burgh menjadi sentra perdagangan dan pertukangan. Para penduduk Burgh disebut kaum burgher dan dari merekalah borjuasi modern lahir.

[4] Journeyman adalah seseorang tukang pada Abad Pertengahan, yang sudah menyelesaikan latihan magangnya tetapi masih belum lulus sebagai master craftsman atau guild master, dan oleh karenanya belumlah menjadi anggota gilda. Seorang journeyman tidak boleh mempekerjakan orang, sebaliknya ia bekerja untuk master craftsman dan mendapatkan upah. Tetapi tujuan utamanya bekerja bukan untuk upah tetapi untuk terus belajar dan mengasah kemampuannya supaya akhirnya bisa diangkat menjadi master craftsman. Seiring dengan berkembangnya kapitalisme, journeyman berangsur-angsur menghilang dan menjadi proletariat.

[5] Reformasi Jerman atau yang dikenal juga sebagai Reformasi Protestan dimulai dengan 95 Tesis yang diterbitkan oleh pendeta Martin Luther pada 1517, yang mengkritik korupsi, kolusi, nepotisme dan berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang merajalela dalam Gereja Katolik. Serangan terhadap Gereja Katolik ini juga secara tidak langsung adalah serangan terhadap feodalisme. Basis kelas yang melandasi Reformasi Jerman adalah kemunculan kelas baru, yakni kaum burgher (kaum borjuis awal), yang mulai menentang otoritas feodalisme dan Gereja. Seperti yang dikatakan Engels dalam bukunya Perang Tani di Jerman: “oposisi terhadap feodalisme menampakkan dirinya sebagai oposisi terhadap feodalisme religius”. Dalam perkembangannya, gerakan Reformasi ini terpecah menjadi dua kamp: kamp konservatif  yang diwakili oleh Martin Luther, dan kamp radikal yang diwakili oleh tokoh-tokoh seperti Thomas Muntzer dan kaum Anabaptis lainnya. 

[6] Perang Tani Jerman (1524-1525) adalah pemberontakan terbesar kaum tani terhadap kaum bangsawan feodal sebelum Revolusi Prancis 1789, untuk menentang penindasan oleh kaum bangsawan dan Gereja Katolik. Pemberontakan ini juga dipantik oleh gerakan Reformasi Jerman yang menentang otoritas rejim autokrasi serta Gereja Katolik.  Sejumlah pendeta radikal seperti Thomas Muntzer mendukung kaum tani yang memberontak ini, namun Martin Luther yang memulai Reformasi Jerman justru menentang pemberontakan ini. Pemberontakan ini gagal dan lebih dari 100 ribu kaum tani dieksekusi. Frederick Engels menulis buku “Perang Tani di Jerman” yang memeriksa konflik kelas yang melandasi perang ini.

[7] Kaum Anabaptis adalah kaum reformis radikal gerakan Reformasi Jerman pada abad ke-16. Kaum Anabaptis dianggap sebagai penyebar ajaran sesat oleh Gereja Katolik dan oleh karenanya menderita persekusi.

[8] Thomas Muntzer (1489-1525) adalah pendeta Jerman dan salah seorang pemimpin Reformasi Jerman yang melawan Gereja Katolik dan feodalisme. Karena pahamnya yang radikal dan revolusioner, dia berseberangan dengan Martin Luther, pemimpin utama Reformasi Jerman, yang  berkompromi dengan otoritas feodal dan gereja. Dia menjadi pemimpin Pemberontakan Tani pada 1525, ditangkap setelah pertempuran Frankenhausen, disiksa, dan lalu dieksekusi.

[9] Revolusi Inggris (1640-1660), atau yang dikenal juga sebagai Perang Sipil Inggris, adalah revolusi borjuis besar pertama di Eropa. Kelas borjuis Inggris yang dipimpin oleh Oliver Cromwell meluncurkan perang terhadap Monarki Inggris. Perang ini dimenangkan oleh kelas borjuis, monarki dihapus dan Raja Charles I dipancung pada 1849, yang lalu disusul oleh 10 tahun kekuasaan pemerintahan republik borjuis. Pada 1860 monarki kembali berkuasa dan Raja Charles II naik ke tampuk kekuasaan.

[10] Engels merujuk pada “kaum Leveller sejati” atau “kaum Digger”, yang pecah dari gerakan republik demokratik Leveller selama revolusi borjuis Inggris pada pertengahan abad ke-17. Kaum Digger mewakili lapisan rakyat termiskin, yang menderita eksploitasi feodal dan kapitalis di desa dan di kota. Kaum Digger meluncurkan propaganda mengenai kepemilikan komunal dan gagasan-gagasan komunisme egaliter lainnya, dan memperjuangkan kepemilikan tanah bersama dengan membajak tanah komunal secara kolektif. Ini kontras dengan kaum Leveller yang membela kepemilikan pribadi.

[11] Francois-Noel Babeuf (1760-1797) adalah seorang agitator politik dan jurnalis selama Revolusi Prancis. Dia menerbitkan koran Le Tribun du Peuple yang membela kaum miskin dan menyerukan pemberontakan terhadap pemerintahan Direktorat yang diktatorial. Dia adalah komunis pertama yang memperjuangkan penghapusan kepemilikan pribadi. Karena perannya dalam usaha menumbangkan Pemerintahan Direktorat, dia ditangkap, diadili dan dijatuhi hukuman pancung.

[12] Di sini Engels terutama merujuk pada karya Thomas More Utopia (1516) dan Tommaso Campanella City of the Sun (1623).

[13] Étienne-Gabriel Morelly (1717-1778) adalah seorang pemikir Utopis dan novelis Prancis. Bukunya, Code de la Nature (Hukum Alam) yang diterbitkan pada 1755 menjadi landasan pemikiran bagi banyak pemikir sosialis dan komunis di kemudian hari. Di dalam bukunya ini dia mengajukan sebuah tatanan sosial yang egaliter, tanpa properti, pernikahan, gereja dan polisi.

Gabrilel Bonnot de Mably (1709-1785) adalah filsuf, sejarawan dan penulis dari Prancis. Dia adalah pemikir komunis awal. Di dalam bukunya, Entretiens de Phocion dan Des droits et de devoirs du citoyen, dia menyokong gagasan penghapusan kepemilikan pribadi, yang dianggapnya tidak sesuai dengan altruisme manusia.

[14] Pemerintahan Teror, dari 31 Mei, 1793 hingga 26 Juli, 1794, adalah periode kediktatoran demokratik revolusioner Jacobin selama Revolusi Prancis.

[15] Direktorat adalah organ kekuasaan eksekutif di Prancis di bawah Konstitusi 1795 yang diadopsi setelah robohnya kediktatoran revolusioner Jacobin pada 1794. Direktorat eksis sampai 1799, sebelum dikudeta oleh Napoleon. Selama Direktorat berkuasa, badan ini mempertahankan rejim teror terhadap kekuatan-kekuatan demokratik dan membela kepentingan borjuasi besar.

[16] Baca Thomas Carlyle, Past and Present, London, 1843.

[17] Ini merujuk pada semboyan Revolusi Prancis 1789 “Liberté, égalité, fraternité” (Kebebasan, Kesetaraan, Persaudaraan).

[18] Hak atas malam pertama atau jus primae noctis adalah hak tuan tanah feodal di Eropa Abad Pertengahan untuk tidur dengan pengantin perempuan hambanya pada malam pengantin.

[19] Lettres d'un habitant de Genève à ses contemporains adalah karya pertama Saint-Simon. Karya ini ditulisnya di Jenewa pada 1802 dan diterbitkan anonim di Paris pada 1803. Ketika mengerjakan karya Anti-Dühring, Engels menggunakan edisi ini: G. Hubbard, Saint-Simon, sa vie et ses travaux. Suivi de fragments des plus célèbres écrits de Saint-Simon, Paris, 1857. Edisi ini mengandung sejumlah kesalahan dalam tanggal penerbitan dari berbagai karya Saint-Simon.

[20] Karya penting pertama Charles Fourier adalah Théorie des quatre mouvements et des destinées générales, yang ditulisnya di awal abad ke-19 dan diterbitkan anonim di Lyon pada 1808. Untuk menghindari sensor, halaman muka karya ini menulis Leipzig sebagai tempat penerbitan.

[21] New Lanark adalah sebuah pabrik katun dengan kampung buruh dekat kota Lanark, Skotlandia. Kota ini didirikan pada 1784. Pada 1800 Robert Owen mengambil alih New Lanark dan membuatnya menjadi model Sosialisme Utopis.

[22] Estate ketiga adalah kategori kelompok sosial di Prancis pada masa Abad Pertengahan yang mencakup semua orang yang bukan anggota aristokrat (estate kedua) dan gereja (estate pertama). Di pedesaan, ini adalah kaum tani dan kaum hamba. Di kota, kaum borjuasi dan kaum pekerja.

[23] Gagasan Saint-Simon bahwa tujuan masyarakat haruslah meningkatkan kesejahteraan “kelas yang jumlahnya paling banyak dan yang paling miskin” disampaikannya dengan paling jelas dalam karya terakhirnya, Nouveau christianisme, yang pertama kali terbit anonim di Paris pada 1825.

[24] Engels mengutip surat kedua dari Lettres d’un habitant de Genève à ses contemporains oleh Saint-Simon.

[25] Engels merujuk Correspondance politique et philosophique. Lettres de H. Saint-Simon a un Américain. Surat-surat ini diterbitkan dalam koleksi H. Saint-Simon, L'industrie, ou Discussions politiques, morales et philosophiques, dans l'intérêt de tous les hommes livrés à des travaux utiles et indépendant, Vol. 2, Paris, 1817.

[26] Peperangan Paris berlangsung pada 30-31 Maret 1814, antara pasukan Koalisi Keenam (yang terdiri dari Rusia, Austria, dan Prusia) dan Prancis. Setelah seharian pertempuran di daerah suburban Paris, Prancis menyerah pada 31 Maret. Pasukan Koalisi Keenam memasuki kota Paris, dengan Tsar, Raja Prusia, dan Pangeran Schwarzenberg di depan barisan pasukan. Ini adalah pertama kalinya pasukan asing menginjakkan kakinya di Paris sejak 400 tahun yang lalu pada saat Perang Seratus Tahun. Ini mengakhiri Perang Koalisi Keenam dan memaksa Kaisar Napoleon untuk turun takhta dan diasingkan ke Pulau Elba.

[27] Perang Seratus Hari, atau dikenal juga sebagai Seratus Hari Napoleon adalah periode antara kembalinya Napoleon ke Paris dari pengasingannya pada 20 Maret 1815, sampai pada kekalahannya dan dinobatkannya Raja Louis XVII pada 8 Juli 1815. Koalisi Ketujuh lalu dibentuk oleh Inggris, Prusia, Belanda, Austria, Rusia, Spanyol, dan negeri-negeri lainnya yang menentang Revolusi Prancis dan Napoleon. Ini adalah bab terakhir Perang Napoleon, dan kekalahan terakhir Napoleon di Pertempuran Waterloo. Pasukan Koalisi Ketujuh mematahkan pasukan Napoleon dan memasuki kota Paris pada 7 Juli 1815. Napoleon menyerah pada 15 Juli 1815, diasingkan ke pulau Saint Helena di mana dia meninggal pada 5 Mei 1821.

[28] Gagasan ini dipaparkan di buku pertama Charles Fourier, Théorie des quatres mouvements, yang mengandung tesis umum ini: “Progres sosial dan perubahan dalam sebuah epos diikuti oleh progres kaum perempuan menuju kebebasan, sementara dekadensi sebuah sistem sosial diikuti dengan pemasungan kebebasan kaum perempuan.” Dari tesis ini Fourier menarik kesimpulan berikut ini: “Perluasan hak-hak perempuan adalah prinsip dasar semua progres sosial.”

[29] Dari Théorie de l’unite universelle. Charles Fourier.

[30] Dari Le nouveau monde industriel et sociétaire, ou invention du procédé d'industrie attrayante et enaturelle distribuée en séries passionnées. Charles Fourier.

[31] Ibid.

[32] Dari The Revolution in Mind and Practice, sebuah memorial yang disampaikan kepada semua “kaum Republiken merah, kaum Komunis dan Sosialis Eropa,” dan dikirim ke pemerintahan provisional Prancis pada 1848, dan juga “ke Ratu Victoria dan para penasihatnya”.

[33] Di sebuah pertemuan publik di Glasgow pada Januari 1815, Owen mengajukan serangkaian kebijakan untuk memperbaiki kondisi kerja anak-anak dan orang dewasa di pabrik. RUU ini diajukan atas inisiasi Owen pada Juni 1815, dan disahkan oleh Parlemen hanya pada Juli 1819, setelah RUU ini dipangkas habis-habisan dan hanya menyentuh masalah buruh anak-anak. UU ini melarang mempekerjakan anak-anak di bawah umur 9 tahun di pabrik pemintal kapas, dan melarang lembur malam bagi anak berusia di bawah 16 tahun; untuk kategori ini, jam kerja dibatasi menjadi 12 jam per hari, tidak termasuk jam makan; karena UU ini tidak wajib dan pemilik pabrik boleh menerapkannya sesuai dengan kebutuhannya, jam kerja sering kali mencapai 14 jam atau lebih.

[34] Sebuah kongres koperasi dan serikat Buruh, yang dipimpin oleh Owen, diselenggarakan di London pada Oktober 1833. Kongres ini secara formal membentuk Grand National Consolidated Trades’ Union of Great Britain and Ireland. Konstitusinya diadopsi pada Februari 1834. Owen membayangkan Serikat ini akan mengambil alih manajemen produksi, mengorganisir produksi seturut metode koperasi, dan merombak ulang masyarakat secara damai. Dihadapkan dengan oposisi dari negara dan kapitalis, Serikat ini bubar pada Agustus 1834.

[35] Ini merujuk pada Equitable Labour Exchange Bazaars yang dibentuk oleh koperasi-koperasi buruh di berbagai kota di Inggris; bazar pertama didirikan oleh Robert Owen pada 3 September, 1832, yang beroperasi hingga pertengahan 1834.

[36] Wilhelm Christian Weitling (1808-1871) adalah seorang buruh jahit dan aktivis komunis dari Jerman. Dia memandang perjuangan sosialis hanya dari sudut pandang moral, dan mencibir teori. Kepadanya Marx menghardik: “Ketidaktahuan tidak pernah menolong siapapun.”


Daftar Isi