Karya-karya pertama dari Marxisme yang sudah matang – Kemiskinan Filsafat dan Manifesto Komunis – muncul tepat menjelang revolusi 1848. Untuk alasan tersebut, selain memaparkan prinsip-prinsip umum Marxisme, karya-karya tersebut pada tingkatan tertentu mencerminkan situasi revolusioner yang konkret pada saat itu. Oleh karenanya, mungkin akan lebih baik untuk mengkaji apa yang dikatakan para penulis karya-karya ini tentang negara sebelum mereka menarik kesimpulan dari pengalaman tahun 1848-51.
Dalam Kemiskinan Filsafat, Marx menulis:
“Kelas buruh, dalam proses perkembangannya, akan menggantikan masyarakat borjuis lama dengan sebuah asosiasi yang akan menyingkirkan kelas-kelas dan antagonisme mereka, dan tidak akan ada lagi kelompok-kelompok kekuasaan politik, karena kekuasaan politik justru merupakan ekspresi resmi dari antagonisme kelas dalam masyarakat borjuis.”[14] (hal. 182, edisi Jerman, 1885.)
Ada baiknya kita membandingkan pemaparan umum mengenai gagasan melenyapnya negara setelah penghapusan kelas-kelas ini dengan pemaparan yang terkandung dalam Manifesto Komunis, yang ditulis oleh Marx dan Engels beberapa bulan kemudian – tepatnya pada November 1847:
“Dalam menggambarkan fase perkembangan proletariat yang paling umum, kita dapat saksikan perang sipil yang kurang lebih terselubung yang bergolak dalam masyarakat, sampai titik di mana perang tersebut meledak menjadi revolusi secara terbuka, dan di mana penggulingan borjuasi dengan kekerasan menyiapkan fondasi bagi kekuasaan proletariat....”
“...Kita telah saksikan di atas, bahwa langkah pertama dalam revolusi kelas buruh adalah menempatkan proletariat ke posisi kelas penguasa, memenangkan perjuangan demokrasi.”
“Proletariat akan menggunakan kekuasaan politiknya untuk merebut, selangkah demi selangkah, semua kapital dari borjuasi, untuk memusatkan semua alat produksi ke tangan Negara, yaitu proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa; untuk memajukan kekuatan produktif secepat mungkin.”[15] (hal. 31 dan 37, edisi Jerman ketujuh, 1906)
Di sini kita jumpai formulasi salah satu ide Marxisme yang paling luar biasa dan paling penting mengenai masalah negara, yaitu, ide tentang “kediktatoran proletariat” (sebagaimana Marx dan Engels mulai menyebutnya setelah Komune Paris); dan juga definisi yang sangat menarik tentang negara, yang juga merupakan salah satu “kata-kata yang terlupakan” dalam Marxisme: “negara, yaitu proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa.”
Definisi negara seperti ini tidak pernah dijelaskan dalam literatur propaganda dan agitasi partai-partai resmi Sosial Demokrat. Lebih dari itu, definisi ini sengaja diabaikan, karena sama sekali tidak dapat didamaikan dengan reformisme, dan merupakan tamparan bagi prasangka oportunis dan ilusi filistin yang umum mengenai “perkembangan demokrasi secara damai”.
Proletariat memerlukan negara – kalimat ini diulang-ulang oleh semua kaum oportunis, sauvinis-sosial dan Kautskyis, yang meyakinkan kita bahwa inilah yang diajarkan Marx. Namun mereka “lupa” untuk menambahkan bahwa, pertama-tama, menurut Marx, proletariat hanya membutuhkan sebuah negara yang melenyap, yaitu sebuah negara yang dibentuk sedemikian rupa sehingga ia akan segera melenyap, dan tidak bisa tidak melenyap. Dan kedua, rakyat pekerja memerlukan sebuah “negara, yaitu proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa”.
Negara adalah organisasi pemaksa khusus: negara adalah organisasi kekerasan untuk menindas kelas tertentu. Kelas mana yang harus ditindas oleh proletariat? Tentu saja, hanya kelas penghisap, yakni borjuasi. Rakyat pekerja membutuhkan negara hanya untuk menekan perlawanan kaum penghisap, dan hanya proletariat yang dapat mengarahkan dan melaksanakan penindasan ini. Karena proletariat adalah satu-satunya kelas yang secara konsisten revolusioner, satu-satunya kelas yang dapat menyatukan seluruh rakyat pekerja yang terhisap dalam perjuangan melawan borjuasi, dan sepenuhnya menyingkirkan borjuasi.
Kelas penghisap memerlukan kekuasaan politik untuk mempertahankan eksploitasi, yaitu demi kepentingan egois minoritas kecil yang menghisap mayoritas luas rakyat. Kelas terhisap memerlukan kekuasaan politik untuk sepenuhnya menghapus eksploitasi, yaitu demi kepentingan mayoritas luas rakyat, dan melawan minoritas kecil yang terdiri dari para pemilik budak modern – tuan tanah dan kapitalis.
Kaum demokrat borjuis-kecil, yaitu kaum sosialis gadungan yang menggantikan perjuangan kelas dengan mimpi keharmonisan kelas, bahkan membayangkan transformasi sosialis seperti mimpi – bukan sebagai penggulingan kekuasaan kelas penghisap, namun sebagai tunduknya minoritas pada mayoritas secara damai. Utopia borjuis-kecil ini, yang tak terpisahkan dari gagasan negara yang berdiri netral di atas kelas-kelas, mengarah ke pengkhianatan terhadap kepentingan kelas buruh, seperti yang ditunjukkan misalnya oleh sejarah revolusi 1848 dan 1871, dan oleh pengalaman partisipasi “sosialis” dalam Kabinet borjuis di Inggris, Prancis, Italia dan negara-negara lain pada peralihan abad ini.
Sepanjang hidupnya Marx berjuang melawan sosialisme borjuis-kecil ini, yang kini dihidupkan kembali di Rusia oleh partai Sosialis-Revolusioner dan Menshevik. Marx mengembangkan teori perjuangan kelas secara konsisten, hingga ke teori kekuasaan politik, dan teori negara.
Kekuasaan borjuis hanya dapat digulingkan oleh proletariat, yaitu kelas yang kondisi ekonominya mempersiapkan mereka untuk menunaikan tugas ini dan memberinya kemungkinan serta kekuatan untuk melaksanakannya. Sementara borjuasi memecah dan mendisintegrasi kaum tani dan seluruh kelompok borjuis-kecil, mereka menghimpun, menyatukan dan mengorganisir proletariat. Hanya proletariat – berkat peran ekonomi yang mereka mainkan dalam produksi skala-besar – yang mampu menjadi pemimpin seluruh rakyat pekerja yang terhisap, yang kerap kali dihisap, ditindas, dan diremukkan oleh borjuasi dengan lebih parah ketimbang proletariat, namun tidak mampu mengobarkan perjuangan yang independen untuk membebaskan diri mereka.
Teori perjuangan kelas, yang diterapkan oleh Marx pada masalah negara dan revolusi sosialis, tentu saja mengarah pada pengakuan kekuasaan politik proletariat, kediktatorannya, yaitu kekuasaan penuh yang secara langsung disokong oleh kekuatan rakyat bersenjata. Penggulingan kaum borjuis hanya dapat dicapai oleh proletariat yang menjadi kelas penguasa, yang mampu menumpas perlawanan kaum borjuis yang tak terelakkan dan kalap, dan mengorganisir seluruh rakyat pekerja yang terhisap untuk membangun sistem ekonomi yang baru.
Proletariat membutuhkan kekuasaan negara, sebuah organisasi kekuatan yang tersentralisasi, sebuah organisasi kekerasan, baik untuk menghancurkan perlawanan kaum penghisap maupun untuk memimpin seluruh rakyat – kaum tani, borjuis-kecil, dan semi-proletar – dalam kerja mengorganisir perekonomian sosialis.
Dengan mendidik partai buruh, Marxisme mendidik lapisan pelopor proletariat, yang mampu mengambil alih kekuasaan dan memimpin seluruh rakyat menuju sosialisme, mampu mengarahkan dan mengorganisir sistem baru, mampu menjadi guru, pembimbing, pemimpin seluruh rakyat pekerja yang terhisap dalam mengelola kehidupan sosial mereka tanpa borjuasi dan melawan borjuasi. Sebaliknya, oportunisme yang kini berkuasa melatih para anggota partai buruh untuk menjadi perwakilan dari buruh yang bergaji lebih baik, yang kehilangan kontak dengan massa, yang berkecukupan di bawah kapitalisme, dan menjual hak kesulungannya demi sepiring bubur kacang merah[16], dalam kata lain, mencampakkan peran mereka sebagai pemimpin revolusioner rakyat dalam melawan borjuasi.
Teori Marx tentang “negara, yaitu proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa”, terikat erat dengan seluruh doktrinnya tentang peran revolusioner proletariat dalam sejarah. Puncak dari kekuasaan ini adalah kediktatoran proletar, kekuasaan politik proletariat.
Namun karena proletariat membutuhkan negara sebagai bentuk khusus organisasi kekerasan untuk melawan borjuasi, kesimpulan berikut muncul dengan sendirinya: apakah mungkin organisasi semacam itu dapat dibentuk tanpa terlebih dahulu menghapuskan, menghancurkan mesin negara yang diciptakan oleh kaum borjuis untuk diri mereka sendiri? Manifesto Komunis langsung mengantarkan kita ke kesimpulan ini, dan kesimpulan inilah yang ditarik oleh Marx ketika merangkum pengalaman revolusi 1848-1851.
Marx merangkum kesimpulan-kesimpulannya dari revolusi 1848-1851, mengenai masalah negara yang kita bahas, dalam argumen berikut yang dimuat dalam Brumaire XVIII Louis Bonaparte:
“Tetapi revolusi ini menyeluruh. Ia masih melalui purgatori. Ia bekerja secara metodis. Pada 2 Desember, 1851 [tanggal kudeta Louis Bonaparte], ia telah menyelesaikan paruh pertama kerja persiapannya. Kini ia sedang menyelesaikan paruh lainnya. Pertama, ia menyempurnakan kekuasaan parlementer, supaya bisa menumbangkannya. Setelah ini tercapai, ia menyempurnakan kekuasaan eksekutif, mereduksinya menjadi ekspresinya yang paling murni, mengisolasinya, membuatnya menjadi satu-satunya objek yang dilawannya, guna memusatkan semua kekuatan destruktifnya terhadapnya [italik dari kami]. Dan manakala ia telah menyelesaikan paruh kedua kerja persiapannya, Eropa akan melompat dari tempat duduknya dan dengan gembira berseru: well grubbed, old mole! [tikus tanah tua, kau telah menggali dengan baik!]”
“Kekuasaan eksekutif ini dengan organisasi birokratik dan militernya yang masif, dengan mesin negaranya yang ekstensif dan artifisial, dengan pegawai negeri yang berjumlah setengah juta, serta setengah juta angkatan bersenjata, parasit yang mengerikan ini, yang menginfeksi seluruh tubuh masyarakat dan menyumbat semua pori-porinya, muncul di masa monarki absolut ketika sistem feodal membusuk, dan ia membantu mempercepat pembusukan tersebut.” Revolusi Prancis pertama mengembangkan sentralisasi, “tetapi pada saat yang sama” ia meningkatkan “cakupan, atribusi, dan jumlah agen kekuasaan pemerintah. Napoleon menyempurnakan mesin negara ini.” Monarki Legitimist dan Monarki Juli[17] “tidak menambahkan apapun kecuali pembagian kerja yang semakin meningkat”...
“...Akhirnya, dalam pergulatannya melawan revolusi, republik parlementer menemukan dirinya terpaksa memperkuat kebijakan represif, sumber daya, dan sentralisasi kekuasaan pemerintah. Semua revolusi terdahulu menyempurnakan mesin ini, alih-alih menghancurkannya. Partai-partai yang bersaing untuk merebut dominasi menganggap kepemilikan mesin negara yang masif ini sebagai rampasan utama sang pemenang.”[18] (Brumaire XVIII Louis Bonaparte, hal. 98-99, edisi keempat, Hamburg, 1907)
Dalam argumentasi yang mengagumkan ini, Marxisme mengambil langkah maju yang luar biasa dibandingkan dengan Manifesto Komunis. Dalam Manifesto Komunis, masalah negara masih diajukan dengan sangat abstrak, dalam ungkapan dan ekspresi yang paling umum. Dalam kutipan di atas, masalah negara dikaji secara konkret, dan kesimpulan yang ditarik sangatlah seksama, definit, praktis, dan konkret: semua revolusi terdahulu telah menyempurnakan mesin negara, padahal mesin ini harus dihancurkan.
Kesimpulan ini merupakan poin utama dan fundamental dalam teori Marxis mengenai negara. Dan justru poin fundamental inilah yang telah sepenuhnya diabaikan oleh partai-partai Sosial-Demokrat resmi yang dominan dan, bahkan, telah didistorsi (seperti yang akan kita lihat nanti) oleh teoretikus Internasional Kedua yang paling terkemuka, Karl Kautsky.
Manifesto Komunis memaparkan ringkasan umum sejarah, yang mendorong kita untuk memahami negara sebagai organ kekuasaan kelas dan membawa kita pada kesimpulan tak-terelakkan bahwa proletariat tidak dapat menggulingkan borjuasi tanpa terlebih dahulu memenangkan kekuasaan politik, tanpa mencapai supremasi politik, tanpa mentransformasi negara menjadi “proletariat yang terorganisir sebagai kelas penguasa”; dan bahwa negara proletar ini akan mulai melenyap segera setelah kemenangannya karena negara tidak diperlukan dan tidak dapat eksis dalam masyarakat tanpa antagonisme kelas. Masalah bagaimana, dari sudut pandang perkembangan sejarah, negara borjuis akan digantikan oleh negara proletar tidak dibahas di sini.
Ini adalah masalah yang diajukan dan dijawab oleh Marx pada 1852. Sesuai dengan filsafat materialisme dialektisnya, Marx mengambil sebagai landasannya pengalaman sejarah tahun-tahun revolusi 1848-1851. Di sini, seperti juga dalam semua masalah lainnya, teorinya merupakan kesimpulan pengalaman, yang diterangi oleh konsepsi filosofis yang mendalam mengenai dunia dan pengetahuan sejarah yang kaya.
Masalah negara diajukan secara spesifik: Bagaimana negara borjuis, mesin negara yang diperlukan bagi kekuasaan borjuasi, muncul secara historis? Perubahan-perubahan apa yang dialaminya, evolusi apa yang dialami negara ini selama revolusi borjuis dan saat menghadapi aksi independen kelas tertindas? Apa tugas proletariat sehubungan dengan mesin negara ini?
Kekuasaan negara yang tersentralisasi merupakan ciri khas masyarakat borjuis, dan ini muncul pada periode keruntuhan absolutisme. Dua institusi yang paling khas dari mesin negara ini adalah birokrasi dan tentara tetap. Dalam karya-karya mereka, Marx dan Engels berulang kali menunjukkan bahwa borjuasi terhubungkan dengan institusi-institusi ini melalui ribuan benang merah. Pengalaman setiap buruh menggambarkan hubungan ini dengan sangat gamblang dan jelas. Dari pengalaman pahitnya, kelas buruh belajar mengenali hubungan ini. Itulah sebabnya mengapa kaum buruh begitu mudahnya memahami dan begitu baiknya mempelajari doktrin yang menunjukkan keniscayaan hubungan ini, sebuah doktrin yang entah secara bodoh dan sembrono disangkal oleh kaum demokrat borjuis-kecil, atau bahkan lebih sembrono lagi diakuinya “secara umum” sementara lupa menarik kesimpulan praktisnya.
Birokrasi dan tentara tetap adalah “parasit” dalam tubuh masyarakat borjuis – sebuah parasit yang diciptakan oleh antagonisme internal yang mengoyak masyarakat tersebut, sebuah parasit yang “menyumbat” seluruh pori-pori vitalnya. Oportunisme Kautskyis yang kini mendominasi dalam Sosial-Demokrasi menganggap pandangan bahwa negara adalah organisme parasit sebagai gagasan yang unik dan eksklusif dari anarkisme. Jelas sekali distorsi terhadap Marxisme ini memberikan keuntungan besar bagi kaum filistin yang telah mereduksi sosialisme hingga menjadi aib yang tiada tara, yaitu dengan membenarkan dan menabiri perang imperialis dengan konsep “membela tanah air”; tapi bagaimana pun juga, ini jelas-jelas adalah distorsi.
Perkembangan, penyempurnaan, dan penguatan aparatus birokrasi dan militer berlangsung selama semua revolusi borjuis di Eropa sejak jatuhnya feodalisme. Khususnya, kaum borjuis kecillah yang tertarik ke sisi borjuasi besar dan sebagian besar tunduk pada borjuasi melalui aparatus ini, yang memberikan lapisan atas kaum tani, pengrajin kecil, pedagang, dan yang lainnya dengan jabatan-jabatan yang relatif nyaman, tenteram, dan terhormat, yang mengangkat status mereka di atas rakyat. Lihat saja apa yang terjadi di Rusia dalam enam bulan setelah 27 Februari 1917 [Revolusi Februari]. Jabatan-jabatan pemerintah yang sebelumnya lebih diutamakan untuk kaum Black Hundred[19] kini menjadi milik kaum Kadet, Menshevik, dan Sosialis-Revolusioner. Tidak ada seorang pun yang benar-benar memikirkan untuk memperkenalkan reforma serius. Segala upaya telah dilakukan untuk menunda reforma “sampai setelah Majelis Konstituante digelar”, dan untuk terus menunda rapat Majelis Konstituante sampai setelah perang! Namun bila berbicara mengenai membagi-bagi jabatan empuk sebagai menteri, deputi menteri, gubernur jenderal, dst., dst., tidak ada penundaan sama sekali, tidak ada yang menunggu Majelis Konstituante! Permainan reshuffle kabinet yang telah dilakukan berulang kali pada dasarnya hanyalah ekspresi dari pembagian dan pembagian-ulang jabatan, yang telah dilakukan dari atas sampai bawah, di seluruh negeri, di setiap departemen pemerintahan pusat dan daerah. Enam bulan antara 27 Februari dan 27 Agustus, 1917, dapat diringkas – secara objektif dan tak terbantahkan – sebagai berikut: reforma ditunda, distribusi jabatan pemerintah telah selesai dan “kesalahan” dalam distribusi ini dikoreksi dengan beberapa distribusi ulang.
Namun, semakin aparatus birokrasi ini “didistribusi ulang” di antara partai-partai borjuis dan borjuis-kecil (di kalangan kaum Kadet, Sosialis-Revolusioner, dan Menshevik dalam kasus Rusia), maka semakin sadar kelas-kelas tertindas, dan proletariat yang memimpin mereka, akan konflik tak-terdamaikan antara mereka dan seluruh masyarakat borjuis. Oleh karenanya, semua partai borjuis, bahkan partai yang paling demokratik dan “revolusioner-demokratik” di antara mereka, mesti mengintensifkan kebijakan represif terhadap proletariat revolusioner dan memperkuat aparat koersif mereka, yakni mesin negara. Ini pada gilirannya memaksa revolusi untuk “memusatkan seluruh kekuatan destruktifnya” terhadap kekuasaan negara, dan menetapkan tujuan, bukan untuk memperbaiki mesin negara, melainkan untuk menghancurkannya.
Yang membuat masalah ini diajukan seperti demikian bukanlah penalaran logis, melainkan perkembangan yang aktual, pengalaman aktual tahun 1848-1851. Sejauh mana Marx berpegang teguh pada landasan kokoh pengalaman sejarah dapat dilihat dari fakta bahwa, pada 1852, ia belum secara spesifik mengajukan pertanyaan tentang apa yang akan menggantikan mesin negara yang akan dihancurkan ini. Pengalaman belum memberikan bahan untuk menjawab pertanyaan ini, yang hanya akan dijawab oleh sejarah pada 1871. Pada 1852, satu-satunya hal yang dapat dipastikan secara akurat lewat pengamatan ilmiah adalah bahwa revolusi proletar telah mendekati tugas “memusatkan seluruh kekuatan destruktifnya” untuk melawan kekuasaan negara dan “menghancurkan” mesin negara.
Di sini mungkin timbul pertanyaan: apakah kita dibenarkan untuk menggeneralisasi pengalaman, pengamatan dan kesimpulan Marx, untuk menerapkannya pada ranah yang lebih luas dari sejarah Prancis selama tiga tahun 1848-51? Sebelum menjawab pertanyaan ini, mari kita mengingat kembali pernyataan Engels dan kemudian memeriksa faktanya. Dalam pengantarnya pada edisi ketiga Brumaire XVIII, Engels menulis:
“Prancis adalah negara di mana, lebih dari negara mana pun, perjuangan kelas yang historis selalu diperjuangkan sampai garis finis, dan sebagai konsekuensinya, perubahan bentuk-bentuk politik, di mana perjuangan tersebut bergerak dan di mana hasil-hasilnya diringkas, mengambil kontur yang paling tajam dan jelas. Prancis adalah pusat feodalisme selama Abad Pertengahan, dan semenjak zaman Renaisans Prancis adalah model monarki absolut yang berdasarkan estate sosial; Prancis menghapus feodalisme selama Revolusi Besar [1871] dan menegakkan kekuasaan borjuasi dalam bentuknya yang klasik murni, yang tak dapat ditandingi oleh negeri Eropa mana pun. Dan perjuangan kaum proletar yang tengah bangkit dalam melawan kaum borjuis yang berkuasa muncul di sini dalam bentuknya yang akut, yang tidak pernah terlihat di negeri mana pun.” (hal. 4, edisi 1907)
Pernyataan di atas sudah kedaluwarsa, karena sejak 1871 ada kemunduran dalam perjuangan revolusioner kaum proletar Prancis. Walaupun periode kemunduran ini dapat berlangsung lama, ini sama sekali tidak menutup kemungkinan bahwa dalam revolusi proletariat yang akan datang Prancis akan menunjukkan dirinya sebagai negeri klasik yang mengobarkan perjuangan kelas sampai akhir.
Namun, mari kita tinjau secara umum sejarah negeri-negeri maju pada peralihan abad ini. Kita akan saksikan proses yang sama berlangsung lebih lambat, dalam bentuk yang lebih beragam, dalam ranah yang lebih luas: di satu sisi, perkembangan “kekuasaan parlementer” baik di negeri-negeri republik (Prancis, Amerika, Swiss) maupun di negeri-negeri monarki (Inggris, Jerman sampai batasan tertentu, Italia, negeri-negeri Skandinavia, dll.); di sisi lain, pergulatan untuk kekuasaan di antara berbagai partai borjuis dan borjuis-kecil yang membagi-bagi dan membagi-bagi ulang jabatan pemerintah, di atas fondasi masyarakat borjuis yang tidak berubah; dan terakhir, penyempurnaan dan konsolidasi “kekuasaan eksekutif”, yaitu aparatus birokrasi dan militernya.
Tidak ada keraguan sedikit pun bahwa ciri-ciri ini dapat ditemui dalam seluruh evolusi modern semua negara kapitalis pada umumnya. Dalam tiga tahun (1848-1851) Prancis menunjukkan, dalam bentuk yang pesat, tajam, dan terkonsentrasi, proses-proses perkembangan yang sama, yang khas dalam seluruh dunia kapitalis.
Imperialisme – era kapital bank, era monopoli kapitalis raksasa, era perkembangan kapitalisme monopoli menjadi kapitalisme monopoli-negara – jelas telah menunjukkan menguatnya “mesin negara” dan pertumbuhan aparat birokrasi dan militer yang tanpa-preseden, sehubungan dengan semakin intensifnya kebijakan represif terhadap proletariat baik di negeri-negeri monarki maupun di negeri-negeri republik yang paling bebas.
Sejarah dunia kini tidak diragukan lagi sedang mengarah, dalam skala yang jauh lebih besar dibandingkan tahun 1852, ke “pemusatan seluruh kekuatan” revolusi proletar untuk “menghancurkan” mesin negara.
Pelajaran Komune Paris menyediakan materi yang sangatlah instruktif mengenai apa yang akan digunakan oleh proletariat untuk menggantikan mesin negara borjuis.
Pada 1907, Mehring, dalam majalah Neue Zeit[21] (Vol. XXV, 2, hal. 164), menerbitkan kutipan dari surat Marx kepada Weydemeyer tertanggal 5 Maret 1852. Surat ini memuat pengamatan yang luar biasa:
“Dan sekarang, mengenai diri saya sendiri, bukan saya yang menemukan keberadaan kelas-kelas dalam masyarakat modern atau perjuangan di antara mereka. Jauh sebelum saya, para sejarawan borjuis telah menguraikan sejarah perkembangan perjuangan kelas ini, dan para ekonom borjuis telah menjabarkan anatomi ekonomi kelas-kelas tersebut. Penemuan baru saya adalah membuktikan: (1) bahwa keberadaan kelas hanya terikat pada fase-fase sejarah tertentu dalam perkembangan produksi (historische Entwicklungsphasen der Produktion), (2) bahwa perjuangan kelas secara tak-terelakkan mengarah pada kediktatoran proletariat, (3) bahwa kediktatoran ini sendiri hanyalah transisi menuju penghapusan semua kelas dan menuju masyarakat tanpa kelas.”[22]
Dengan kata-kata ini, Marx berhasil menyatakan dengan amat jelas, pertama, perbedaan utama dan radikal antara teorinya dan teori para pemikir borjuis yang paling terkemuka; dan kedua, esensi teorinya tentang negara.
Sering kali dikatakan dan ditulis bahwa poin utama teori Marx adalah perjuangan kelas. Tapi ini tidak benar. Dan gagasan yang keliru ini sering kali mengakibatkan distorsi oportunis terhadap Marxisme dan pemalsuan terhadap Marxisme untuk membuatnya dapat diterima oleh kaum borjuis. Karena teori perjuangan kelas diciptakan bukan oleh Marx, melainkan oleh kaum borjuis sebelum Marx, dan, secara umum, teori ini dapat diterima oleh kaum borjuis. Mereka yang hanya mengakui perjuangan kelas belumlah menjadi seorang Marxis; mereka masih berada dalam batasan pemikiran borjuis dan politik borjuis. Membatasi Marxisme pada teori perjuangan kelas berarti mempersempit Marxisme, mendistorsinya, mereduksinya menjadi sesuatu yang dapat diterima oleh borjuasi. Kaum Marxis memperluas pengakuan atas perjuangan kelas hingga pengakuan atas kediktatoran proletariat. Inilah perbedaan paling mendalam antara kaum Marxis dan kaum borjuis kecil umumnya (dan juga kaum borjuis besar). Inilah ujian pemahaman dan pengakuan atas Marxisme yang sesungguhnya. Dan tidaklah mengherankan ketika sejarah Eropa membawa kelas buruh berhadapan langsung dengan masalah ini sebagai isu praktis, tidak hanya semua kaum oportunis dan reformis, tetapi juga semua kaum Kautskyis (yaitu orang-orang yang terombang-ambing antara reformisme dan Marxisme) terbukti menjadi kaum filistin dan demokrat borjuis-kecil yang menyedihkan, yang menolak kediktatoran proletariat. Pamflet Kautsky, Dictatorship of the Proletariat, yang diterbitkan pada Agustus 1918, lama sesudah edisi pertama buku ini, adalah sebuah contoh sempurna dari distorsi borjuis-kecil terhadap Marxisme dan penolakan terhadap Marxisme dalam tindakan, sementara secara munafik mengakuinya dalam ucapan (baca pamflet saya, Revolusi Proletariat dan Kautsky si Pengkhianat, Petrograd dan Moskow, 1918).
Oportunisme di masa kini, sebagaimana diwakili oleh juru bicara utamanya, sang eks-Marxis Karl Kautsky, sepenuhnya cocok dengan karakterisasi Marx tentang posisi borjuis yang dikutip di atas, karena oportunisme ini membatasi pengakuan atas perjuangan kelas hanya pada lingkup relasi borjuis. (Dalam lingkup ini, dalam kerangka ini, tidak ada seorang pun kaum intelektual liberal yang akan menolak mengakui perjuangan kelas “dalam prinsip”!) Oportunisme tidak memperluas pengakuan atas perjuangan kelas hingga titik utamanya, yaitu hingga periode transisi dari kapitalisme ke komunisme, hingga periode penggulingan dan penghapusan total kelas borjuasi. Pada kenyataannya, periode ini mau tidak mau merupakan periode perjuangan kelas dengan kekerasan tanpa-preseden, dalam bentuknya yang paling akut, dan, walhasil, selama periode ini negara niscaya menjadi negara yang demokratik dalam cara yang baru (bagi kaum proletar dan kaum miskin pada umumnya) dan negara yang diktatorial dalam cara yang baru (untuk melawan kaum borjuis).
Lebih jauh lagi. Esensi teori negara Marx hanya dikuasai oleh mereka yang menyadari bahwa kediktatoran satu kelas diperlukan tidak hanya bagi setiap masyarakat kelas secara umum, tidak hanya bagi proletariat yang telah menggulingkan borjuasi, tetapi juga bagi seluruh periode historis yang memisahkan kapitalisme dari “masyarakat tanpa kelas”, dari komunisme. Negara-negara borjuis mengambil bentuk yang sangat beragam, namun esensinya sama: semua negara ini, apapun bentuknya, dalam analisis terakhir merupakan kediktatoran borjuasi. Transisi dari kapitalisme ke komunisme pasti akan menghasilkan bentuk politik yang sangat kaya dan beragam, namun esensinya pasti akan sama: kediktatoran proletariat.
[14] Marx, Karl. “The Poverty of Philosophy”. Marx & Engels Collected Works, Vol. 6. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 212.
[15] Marx, Karl dan Engels, Frederick. “Manifesto of the Communist Party”. Marx & Engels Collected Works, Vol. 6. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 495 dan 504.
[16] Ini merujuk pada kisah Esau dalam Alkitab Kejadian, yang menjual hak kesulungannya kepada adiknya Yakub untuk sepiring bubur kacang merah.
[17] Monarki Legitimist merujuk pada Monarki Bourbon yang mengakhiri Republik Prancis dengan menumbangkan Napoleon, dan berkuasa dari 1814-1830 selama periode Restorasi Bourbon. Monarki ini lalu ditumbangkan oleh Monarki Juli di bawah Raja Louis Phillipe I, yang berkuasa dari 1830-1848, sebelum ditumbangkan dalam Revolusi Prancis 1848.
[18] Marx, Karl. “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte”. Marx & Engels Collected Works, Vol. 11. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 185-186.
[19] Black Hundred adalah kaum monarkis ekstremis dan ultra-nasionalis pada masa Tsar Rusia. Mereka terdiri dari elemen-elemen borjuis kecil reaksioner dan lapisan bangsawan yang setia pada Tsar Rusia, dan mendapat sokongan langsung dari rejim Tsar sebagai kekuatan reaksioner yang digunakan untuk menghantam gerakan buruh.
[20] Ditambahkan di edisi kedua.
[21] Die Neue Zeit (Jaman Baru) – jurnal teori Partai Sosial-Demokratik Jerman, diterbitkan di Stuttgart dari 1883 hingga 1923. Diedit oleh Karl Kautsky hingga Oktober 1917 dan oleh Heinrich Cunow selanjutnya. Jurnal ini menerbitkan beberapa artikel Marx dan Engels. Engels menawarkan nasihat kepada para redakturnya dan sering mengkritik mereka karena menyimpang dari Marxisme. Pada paruh kedua tahun 1890an, setelah meninggalnya Engels, jurnal ini mulai secara sistematis menerbitkan artikel-artikel revisionis, termasuk serangkaian artikel Bernstein yang berjudul “Problems of Socialism”, yang memulai kampanye revisionis terhadap Marxisme. Selama Perang Dunia Pertama, jurnal ini membela posisi Sentris, dan secara efektif membela kaum sauvinis-sosial.
[22] “Marx to Joseph Weydemeyer, 5 March 1852”. Marx & Engels Collected Works, Vol. 39. Lawrence & Wishart, 2010. hal. 60-65.