Dewasa ini, ketika seorang berkata, "saya bukanlah seorang rasis", sebentar kemudian bisa saja ia mengucapkan sentimen-sentimen yang memuakkan terhadap orang Asia, ataupun Aborijin.
Setelah munculnya anggota parlemen independen Pauline Hanson, rasisme malah menjadi tren. Kebanyakan warga Australia tidak mendukung Pauline Hanson, namun jajak pendapat memperlihatkan bahwa tidak sedikit orang Australia yang menentang kedatangan para imigran dari Asia. Di sejumlah tempat kerja bisa dijumpai seseorang mengatakan bahwa banyak orang Asia yang mengambil pekerjaan-pekerjaan dan rumah-rumah yang terbaik.
Ini bukan berarti kebanyakan pekerja adalah rasis fanatik. Kebanyakan orang memiliki pendapat dan perasaan yang beragam terhadap orang lain, beberapa diantaranya bersifat rasional dan lainnya berprasangka buruk. Rasis yang sebenarnya, dan politikus yang oportunis seperti perdana menteri John Howard merangsang prasangka buruk itu. Mengapa? Untuk menjaga pikiran kita agar lepas dari akar penyebab sebenarya dari masalah-masalah yang ada, seperti pengangguran, pemotongan untuk pelayanan sosial, pemukiman kumuh dll. Penyebab dari semua masalah itu ialah kapitalisme.
Kaum penguasa menggunakan isu rasisme untuk memecah belah kita, supaya kita tidak bisa secara efektif melawan mereka.
Darimana asal rasisme? Sebetulnya ini adalah hal yang relatif baru. Buruk sangka antar beberapa golongan sudah berumur tua, tetapi sejarah mencatat sedikit bukti tentang diskriminasi yang berdasarkan ras, atau warna kulit. In berlangsung belum begitu lama.
Orang Yunani dan Roma (kuno) membenarkan perang melawan bangsa lain dengan alasan bahwa siapa yang tidak bisa berbicara dengan bahasa Yunani atau Latin, maka mereka tidak menpunyai hak untuk menentukan diri sendiri. Namun, begitu orang itu mendapatkan kewarganegaraan Roma, maka asal "asing" mereka tidak menghalangi mereka lagi untuk mencapai status sosial yang seimbang.
Patung kuno menunjukkan bahwa beberapa raja Mesir adalah orang Nubian yang berkulit hitam. Pula beberapa penguasa Roma disertai dengan musuh terkenal mereka Hannibal adalah orang Afrika dan mungkin juga berkulit hitam.
Para penakluk dari Spanyol tahu benar bahwa negara mereka telah diperintah oleh orang Arab yang berkulit coklat, maka mereka membenarkan perbudakan atas suku Indian Amerika Selatan dengan alasan bahwa suku Indian tersebut adalah kafir, daripada sekadar masalah warna kulit.
Para pembaca "Othello" karya Shakespeare kadang-kadang berpikir mengapa pelaku-pelaku di karya itu tidak memperlihatkan rasisme terhadap Othello. Asalannya adalah karena di masa Shakespeare soal warna kulit belum berarti.
Jadi apa yang telah berubah? Jawabannya adalah imperialisme Eropa dan perdagangan budak.
Budak-budak pertama di perkebunan "dunia baru" adalah para narapidana dan orang-orang Indian Karibia, namun mereka semua mati secara berangsur-angsur dan akhirnya diganti oleh orang Afrika yang lebih kuat. Sekitar 30 juta orang Afrika diangkut menyeberangi samudra Atlantik melawan kemauan mereka, dan diperkenalkan pada sebuah kehidupan baru yang penuh kepedihan.
Di Asia dan kemudian di Afrika, kekuasaan Eropa secara brutal diterapkan pada masyarakat setempat, dan ekonomi mereka dieksploitasi untuk keuntungan modal barat. Untuk membenarkan perkembangan ini, maka para penguasa Eropa berargumentasi bahwa orang yang berkulit berwarna berkedudukan rendah. Para intelektual, jurnalis dan para pendeta mencoba menggagas untuk megegolkan teori ini menjadi hal yang bersifat umum dan bisa diterima oleh masyarakat luas.
Di banyak negara dunia ketiga saat ini, seperti Malaysia, Indonesia atau Fiji, ketegangan rasial antara kelompok-kelompok kulit berwarna sering kali timbul. Ini merupakan hasil dari politik penjajah Eropa, politik pecah-belah.
Akhirnya perdangangan budak dihentikan karena secara ekonomi dianggap tidak menguntungkan, dan kolonialisme pun mengalami kemunduran. Namun sistem kapitalis menemukan cara-cara baru untuk membuat rasisme menguntungkan. Orang-orang berkulit berwarna bisa digunakan sebagai tenaga kasar, sedangkan prasangka-prasangka buruk tentang orang-orang berkulit berwarna, yang dimiliki oleh pekerja yang berkulit putih dipertahankan. Tujuannya adalah agar kelas buruh bisa terus dipecah-belah. Selama bertahun-tahun taktik seperti ini digunakan oleh para majikan di Eropa, Amerika dan juga Australia.
Penguasaan Eropa terhadap Australia berarti pembersihan penduduk bangsa Aborijin. Kemudian para pendatang mengembangkan kekuasaan mereka di daerah Asia-Pasifik. Sebagai akibatnya mereka bermusuhan dengan kaum pendatang dari Asia yang berkulit gelap.
Perbudakan juga dibawa ke Australia. Sebagai contoh, para petani besar dan pengusaha peternakan tidak diwajibkan membayar para pekerja Aborigin dengan uang tunai sampai abad ke-20. Dan lebih dari 60.000 budak didantangkan ke Queensland dari pulau-pulau di Pasifik antara tahun 1863 sampai 1904.
Saat ini, mayoritas kelas yang tengah berkuasa masih ragu-ragu untuk ikut memicu suasana rasis di Australia, karena Australia harus tetap berhubungan dengan negara-negara Asia. Australia juga butuh para imigran yang terampil, dan dengan standar hidup yang semakin merosot, negeri ini sulit untuk mendapatkan tenaga-tenaga itu dari Eropa. Maka para politisi sering menghendaki kita untuk bersikap toleran.
Meski begitu, tidak sedikit pekerja yang menjadi mangsa agitasi rasis. Ini bukan berarti mereka bodoh, melainkan karena mereka merasa cemas. Cemas akan masalah pengangguran, gaji yang menurun, pemotongan dalam palayanan sosial, dsb. Orang-orang Asia dan Aborijin sering menjadi kambing hitam. Rezim Soeharto juga menggunakan hal serupa, yaitu dengan memanipulasi isu suku, ras dan agama, untuk memecah-belah rakyat.
Makanya sebuah perjuangan yang efektif melawan rasisme harus disertai dengan perjuangan yang melawan aspek kapitalisme lainnya, seperti krisis ekonomi atau rezim politik otoriter.